Mohon tunggu...
Umar Sofii
Umar Sofii Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ehipassiko : Memberi Tanpa Pamrih.

23 September 2025   07:53 Diperbarui: 23 September 2025   07:53 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DalamDalam hidup, kita sering berharap kebaikan yang kita lakukan akan dihargai atau dibalas. Namun ajaran Buddha mengingatkan bahwa kedermawanan sejati lahir ketika kita memberi tanpa mengharap apa pun kembali. Prinsip Ehipasiko --- "datang, lihat, dan alami sendiri" --- mendorong kita untuk tidak hanya mempercayai teori, tetapi mencobanya secara langsung. Untuk memudahkan, latihan ini bisa dijalankan bertahap dalam tiga level, dari yang paling sederhana hingga yang paling transformatif.

Level 1: Memberi Kecil, Tanpa Diketahui
Langkah awal bisa dimulai dari hal-hal kecil yang bahkan tidak membutuhkan banyak tenaga atau biaya. Kita bisa membayarkan parkir orang di belakang tanpa memberi tahu siapa, meninggalkan uang receh di mesin kopi kantor untuk orang berikutnya, atau membelikan makanan ringan bagi satpam atau kurir tanpa menunggu ucapan terima kasih. Setelah melakukannya, amati perasaan kita sendiri. Sering kali, meskipun tidak ada yang tahu, hati justru terasa hangat dan cukup hanya karena menyadari telah berbuat baik.

Level 2: Memberi Waktu dan Perhatian, Tanpa Mengharap Balas Budi Emosional
Setelah terbiasa dengan langkah kecil, kita bisa naik ke tahap berikutnya: memberi perhatian tulus tanpa mengharap pengakuan. Misalnya, mendengarkan teman yang sedang curhat tanpa perlu buru-buru memberi solusi, membantu rekan kerja menyelesaikan tugas tanpa berharap disebut dalam rapat, atau menemani orang tua berbicara meski topiknya berulang-ulang. Pada level ini, yang diuji adalah kesediaan kita hadir sepenuhnya bagi orang lain. Perhatikan setelahnya: apakah kita bisa menikmati "kehadiran" sebagai hadiah itu sendiri? Apakah kita bisa melepaskan kebutuhan untuk selalu diakui?

Level 3: Memberi kepada Orang yang "Tidak Pantas" atau "Pernah Menyakitimu"
Inilah tahap yang paling sulit, tetapi juga paling transformatif. Di sini kita diajak memberi bahkan kepada mereka yang pernah menyakiti atau membuat kita kecewa. Misalnya, mengirim makanan kepada mantan tanpa nama, membantu rekan kerja  tanpa menunggu ucapan terima kasih, atau mendoakan kebahagiaan bagi orang yang iri pada kita tanpa mereka pernah tahu. Hasilnya bisa mengejutkan: hati terasa lebih lapang, dendam berkurang, dan kita merasa lebih merdeka. Pada titik ini, memberi bukan lagi soal orang lain, melainkan tentang kebebasan batin kita sendiri.

Melalui tiga level ini, kita belajar bahwa memberi tanpa pamrih adalah perjalanan batin yang bertahap. Kita tidak perlu langsung muluk-muluk; cukup mulai dari hal kecil, lalu perlahan melatih diri melepaskan ekspektasi yang lebih dalam. Dari setiap pengalaman, kita membuktikan sendiri bahwa kebahagiaan sejati lahir bukan dari balasan orang lain, melainkan dari hati yang rela, lapang, dan penuh cinta kasih. Inilah kekuatan Ehipasiko: ajaran yang tidak sekadar dipercaya, tetapi dialami langsung dalam hidup kita sehari-hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun