“Sahabat kecilku”
Dia adalah Arjun,kawan masa kecilku. Aku dan Arjun hidup bertetangga, umurnya satu tahun lebih tua dariku sehingga aku memanggilnya “Abang”. Waktu itu kami masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), bagiku Bang Arjun adalah pahlawan super seperti “Spiderman” (Superhero idolaku kala itu) dia selalu melindungiku ketika ada yang menggangguku, ketika aku kesulitan dalam belajar dia tak keberatan untuk mengajariku.Hari-hariku selalu bersamanya, berangkat sekolah bareng, belajar bareng, main bareng tak heran jika aku menyayangi Bang Arjun seperti Abangku sendiri.
“Rasa sayangku berubah jadi rindu”
5 tahun kemudian BangArjun telah menamatkan belajarnya dari bangku Sekolah Dasar (SD), namun saat itu aku masih duduk di kelas 6 SD, memaksaku untuk belajar mandiri tanpa Bang Arjun.
Bang Arjun semakin sibuk dengan kegiatannya sebagai pelajar SMP, bahkan kudengar dia terpilih menjadi Ketua Osis, pantas jika Bang Arjun kini jarang berkunjung kerumahku meskipun rumah kami hanya dibatasi oleh sebuah pagar, tiba-tiba aku begitu merindukan Bang Arjun.
“Hatiku berdesir ketika mendengar namanya”
Satu tahun kemudian akupun telah menamatkan belajarku dari Sekolah Dasar (SD), kebetulan aku melanjutkan ke jenjang pendidikanyang sama dengan Bang Arjun yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nusantara. Agenda wajib yang harus dilalui oleh siswa baru di SMP Nusantara adalah Masa Orientasi Siswa (MOS), Agenda ini dibuka dengan sambutan kepala sekolah, setelah itu kami dibagi dalam beberapa kelas.
Terdengar begitu melengking sumber suara yang ada di ujung barat lapangan, sumber suara menginformasikan tentang pembagian kelas beserta para pendamping dalam agenda MOS “kelas 7c akan didampingi oleh Arjuna putra,Azam purnama, Ayu maulida, Karunia Rahma......” deg, hatiku tiba-tiba berdesir ketika namanya disebut “Arjuna putra” tak kusangka kelasku dipegang oleh Bang Arjun sebagai pendamping.
Hubunganku dengan Bang Arjun tak sedekat dulu, itu wajar karena kita sudah menginjak masa remaja dan tak mungkin aku selalu bergantung pada Bang Arjun yang kini telah memiliki kesibukan sendiri. Namun tetap saja, sepertinya aku makin mengaguminya dan Bang Arjun tetaplah spiderman bagiku, Masa Orientasi Siswa ku terasa berwarna dengan adanya Bang Arjun sebagai pendamping kelas, ada rasa deg-deg kan, malu, salting semua jadi satu, meski Bang Arjun tak menyadari akan hal itu.
“Bagai ribuan jarum menghujam jantungku”
Kabar burung itu kini terdengar di berbagai sudut sekolah, kudengar kini Bang Arjun tengah menjalin kedekatan dengan teman satu kelasnya namanya Rere, aku sempat tak mempercayai akan kabar yang belum tentu benar adanya, namun kabar itu diperkuat dengan kenyataan bahwa Bang Arjun dan Rere terlihat selalu bersama dalam beberapa moment. Tentu kejadian ini membuatku karam, bagai ribuan jarum telah menghujam jantungku.
“Aku bahagia dengan duniaku”
Sesaat setelah mengetahui kedekatan Bang Arjun dengan Rere, perlahan seiring berjalannya waktu rasa empatiku untuk Bang Arjun semakin berkurang, tak ada rasa gelisah lagi ketika aku melihat keduanya jalan bareng, tak ada spiderman dan tak ada pahlawan super lagi. Kurasa itu semua adalah cinta monyet yang hanya datang dan pergi begitu saja, aku bahagia dengan duniaku, dengan sahabat-sahabat baru dan dengan agenda-agenda padatku.
“Mengapa kau tinggalkan aku sendiri?”
Uforia pesta pelepasan kelas 9 SMP Nusantara terlihat begitu meriah, para siswa dan siswi silih berganti menampilkan berbagai bakat dan kemampuan yang dimiliki diatas panggung, mulai dari pembacaan puisi perpisahan, musik band sekolah sampai tari-tarian tradisional melengkapi kemeriahan moment itu. Raut wajah keceriaan terlihat dimana-mana, gurauan dan canda tawa bercampur jadi satu, namun pandanganku tiba-tiba tertuju pada sesosok laki-laki berperawakan tinggi, putih, dengan rambut hitam lebat berdiri disamping kaca jendela dengan pandangan kosong, perlahan aku mencoba untuk mendekatinya.
“Bang Arjun...” Sapaku memecahkan lamunannya.
“Eh, Shinta ngagetin aja”
“Kok sendiri Bang?”
Perlahan Bang Arjun mulai terbuka denganku, ia curahkan seluruh isi hatinya padaku siang itu, tentang kesibukannya yang sempat menjabat sebagai ketua Osis, tentang kisah cintanya yang kandas begitu saja, tentang perjuangan untuk mencapai cita-citanya pula. Betapa aku merindukan saat-saat seperti ini, ia kembali menjadi Bang Arjun yang dulu walau hanya dalam waktu sekejap.
“Ini merupakan momen-momen terakhirku berada di sekolah ini, bentar lagi Bang Arjun akan melanjutkan sekolah ke luar kota mungkin sampai ke jenjang perkuliahan” katanya disela-sela perbincangan.
Bagai tersambar petir di siang bolong, suaranya terdengar begitu menggelegar, tubuhku terasa kaku dan tak bergerak mendengar pernyataan dari Bang Arjun bahwa ia akan melanjutkan studinya di luar kota, itu artinya aku tak akan berjumpa dengannya dalam kurun waktu yang cukup lama.
***
“Aku terus berjalan, walau tanpamu”
Hari-hariku disibukkan dengan berbagai kegiatan yang teramat padat, mulai dari extra kulikuler, berbagai organisasi sekolah, sampai les privat untuk menunjang prestasi akademik ku. Aku menjalaninya dengan penuh semangat, tak akan kubiarkan masa mudaku berlalu begitu saja, akan kutanam bermacam bibit untuk bekal masa tuaku nanti, berbagai aral dan rintangan akan kutempuh. Betapa indahnya hidup ini, hingga membuatku lupa akan kepergian Bang Arjun yang tak terasa sudah 4 tahun lamanya kita tak berjumpa.
“Kau datang, membawa cinta”
Sorak sorai, jeritan, tangis dan tawa mewarnai pengumuman kelulusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Nusa Bhakti pagi itu, saatnya kutinggalkan masa putih abu-abu.
Pulang sekolah tubuhku terasa amat penat, dengan segera kurebahkan tubuhku diatas kasur sofa yang dibaluti spray biru laut sesuai dengan warna favoritku.
“tililit... tililit...” tiba-tiba benda kecil berbentuk persegi panjang itu berdering.
“Congratulation on your succes” kubaca pesan singkat dari nomor yang tak kukenal.
“Siapa?” Balasku singkat.
“Bang Arjun”
Tiba-tiba memoriku kembali pada kejadian 4 tahun silam, tepat ketika dia mengucapkan salam perpisahan, masih tampak jelas raut wajahnya di benakku, Bang Arjun yang selalu optimis dengan cita-citanya, Bang Arjun yang amat bijaksana, Bang Arjun yang tampak begitu tegar. Kukira aku sudah tak peduli padanya, bahkan aku terlupa semua hal tentangnya. Namun, nyatanya aku seperti terbangun dari tidur panjangku, desir-desir angin menyadarkanku, bahwa masih tertinggal sisa-sisa deguban jantung masa lalu.
Betapa girangnya aku ketika mendapat pesan pertama dari Bang Arjun, setelah 4 tahun lamanya tak ada kabar tentangnya, aku lontarkan begitu banyak pertanyaan padanya, tentang kabarnya, kesibukannya, kesehatannya, kisah cintanya, studinya.
“Jika ada kesempatan untuk bertemu nanti, Abang akan ceritakan semuanya, sampai kamu bosan. J” Balasnya, karna bingung harus menjawab satu persatu dari banyaknya pertanyaan yang aku sodorkan padanya. Hingga akhirnya tanpa sadar pesan terakhir dari Bang Arjun telah mengantarkanku menuju alam mimpi.
“Apakah ini cinta?”
Rasanya terlalu cepat jika kutafsirkan bahwa semua itu adalah cinta. Namun jika bukan cinta, lalu apa? kebingungan menggelayut dipikiranku, aku tak tahu apa nama atas perasaanku saat ini, apakah cinta? apakah sayang? ataukah hanya sekedar kekagumanku pada sosok spiderman masa kecilku dulu. Faktanya rasa itu tak pernah hilang, hingga saat ini ketika usiaku menginjak 18 tahun. Jika benar itu adalah cinta, munafikkah aku dengan perasaanku selama ini? Mungkin.
“Kau dan hujan”
Sore itu hujan turun begitu deras, kunikmati hawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang sum-sum, kurasakan setiap tetesnya di balik kaca jendela kamarku. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari menikmati derasnya air hujan yang mengaliri pori-pori kulit mereka, keceriaan tergambar begitu jelas ketika ada kawan yang lain datang membawa sebuah bola sepak yang akan dimainkan saat itu juga. Ah, indahnya masa-masa itu.
Betapa asyiknya mereka, tiba-tiba bola melambung begitu jauh dari area bermain, nampak sesosok pemuda dengan balutan jas almameter warna kuning mencoba memainkan bola sepak yang menuju ke arahnya, begitu lincah bola dikakinya, terlukis senyum simpul tanda persahabatan saat ia tendang balik bola ke arah kawanan anak-anak kecil itu.
Mata ini memandangnya dalam keremangan pola pikir yang menglayut dalam otak “siapakah dia?” hingga ia berjalan perlahan mendekat dari pandangan ku dan hati ini mulai mengerti bahwa lelaki yang jauh di sana adalah dirinya yang masih ada dalam balutan kerinduanku setiap detik. Tubuh ini terbawa dengan sendirinya tuk mendekat dan menyapa,
“ Bang Arjun, selamat datang di kota tercinta” ku ulurkan tanganku tuk menyambut kedatangannya, diiringi dengan rintikan hujan yang turun semakin deras.
“Indah pada waktunya”
Seminggu ku habiskan waktu bersama Bang Arjun, tentu tak akan ku sia-siakan kehadirannya yang telah lama kunantikan, hingga hari yang bersejarah itu pun tiba.
“Hai, wah adek ku makin gede aja”
“Bang Arjun bisa saja, gimana Bang pacar barunya?”
“Pacar? Hahaha... gak ada kok. Abang masih menunggu seseorang”
“Wah, siapa Bang? Aku pengen kenalan”
“Kamu kenal kok, dia sekarang ada disini”
“Mana bang, pake baju apa?”
“Nih di depan Abang pake baju Biru namanya Shinta”
“Hah? Aku? Hahaha... gak lucu tau Bang bercandanya”
“Abang beneran, Bang Arjun Sayang Shinta”
Aku dibuat melayang atas pernyataan yang lama kunantikan, tak akan pernah ada kata sia-sia dalam sebuah penantian, hanya dengan keyakinan dan kepercayaan semua akan indah pada waktunya.
The end
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI