Mohon tunggu...
Faisal Magrie
Faisal Magrie Mohon Tunggu... -

Kera Afrika Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ngomongin Cinta Lho

8 Desember 2010   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di usia-usia duapuluh tahunan, ketika ingatan-ingatan tentang masa kecil kita sudah sebagian menghilang, sebagian lagi terasa jauh, dan sebagian lagi terdistorsi, hampir semua manusia yang hidup di awal abad ini menemukan pasangan yang ia anggap ideal. Kebanyakan dari kita menemukan pasangannya tersebut di dunia pekerjaan atau karir yang mereka tempuh. Basis awal dari pemilihan pasangan tersebut, tidak dapat dipungkiri, adalah ketertarikan antar individu tersebut. Kebanyakan dari kita berpikir bahwa ketertarikan tersebut sifatnya fisik atau sosial, namun hal itu sebenarnya terjadi jauh lebih bersifat biologis dan insting untuk menghasilkan keturunan yang sempurna. Tanpa disadari, otak kita lah yang memaksa kita untuk mencintai seseorang, hanya dengan satu tujuan: Reproduksi!

Pada awalnya, sepintas kita terlihat hanya menggunakan mata kita untuk mengukur lawan kencan kita, melihat apakah ia masuk dalam kriteria yang selama ini kita susun, apakah orang tersebut berpotensi membuat kita bahagia, dan sebagainya, Namun penglihatan ternyata bukanlah segalanya. Sebagian besar dari kita tentu menyangka bahwa afeksi lah yang memainkan peranan yang lebih besar. Namun sebelum masuk ke ranah tersebut, ada faktor penentu lainnya yang tidak kita duga memegang peranan yang lebih penting, yaitu penciuman.

Di dalam hidung kita, saraf-saraf olfaktori tidak sekadar mengirim rangsang berupa bau ke dalam otak kita. Mereka juga mendeteksi zat-zat kimia yang tidak bisa kita cium, yaitu feromon, pesan hormonal tanpa bau yang kita keluarkan melalui keringat kita. Feromon menyampaikan informasi mengenai kesehatan genetik kita serta kemampuan kita untuk bertahan dari suatu penyakit. Otak kita menggunakan sinyal-sinyal yang dikirim oleh zat ini sebagai semacam alat ukur untuk memilih pasangan kita yang kita anggap memiliki kemungkinan menghasilkan gen yang kuat pada anak-anak kita. Jadi bayangkan jika anda merasa bahwa seseorang lawan jenis terkesan mencuri pandangan mata serta hati anda, dalam bahasa biologisnya berarti otak kita menangkap sinyal-sinyal feromon dari orang tersebutserta langsung mengkonfirmasi bahwa informasi gen yang di bawa oleh feromon orang tersebut sangat dibutuhkan oleh sistem genetika diri kita, dan memerintah kita untuk dengan segala cara untuk sesegera mungkin melakukan mating dengan orang itu.

Hal ini terkesan mudah untuk ordo-ordo mamalia lain. Namun untuk Homo sapiens sapiens, spesies ini telah berevolusi sedemikian kompleksnya sehingga mampu menghasilkan interaksi sosial yang lebih beragam dan mampu membentuk suatu kebudayaan yang terus berkembang. Salah satu pranata dari kebudayaan adalah adanya norma sosial yang mengatur kehidupan dalam masyarakat agar masing-masing elemennya tidak saling bertabrakan dan membuat hancur kebudayaan tersebut. Pada manusia, salah satu hal yang diatur oleh norma sosial ini adalah perkawinan. Perkawinan pada manusia sangat erat kaitannya dengan kepemilikan. Norma sosial di atas memberi kejelasan pada sistem kepemilikan tersebut. Untuk meneruskan gen nya, seseorang tidak bisa langsung mencari pasangannya secara tiba-tiba dan melakukan kawin di tempat. Hal ini sudah diduga terjadi sejak awal perkembangan manusia sebagai spesies terpisah dari genus nya, sehingga sangat mungkin mekanisme "tidak kawin langsung di tempat" ini terekam dalam sungai evolusi manusia dan memaksa otak kita mengembangkan agen-agen yang ia butuhkan agar organisme induknya bisa meneruskan gennya.

Kembali ke pembahasan utama, ketika otak kita menyetujui feromon yang dikirim oleh seseorang, ia langsung mengeluarkan adrenalin (agen pertama) ke dalam aliran darah yang membuat jantung kita makin terasa berdebar-debar, dan terkadang membuat kita tidak bisa tidur. Adrenalin, sebagai salah satu hormon yang berperan besar dalam evolusi manusia, memacu seseorang untuk cepat bereaksi agar bisa survive. Agar lebih jelasnya, bayangkan perasaan berdebar-debar yang anda rasakan ketika hendak mengirim sms, chatting, atau menelepon dengan sang target untuk pertama kalinya. Otak kita menyediakan perasaan berdebar tersebut agar kita bisa bertindak cepat, karena otak mengira hal ini merupakan kebutuhan dasar si individu, yaitu untuk bereproduksi dan melanggengkan gennya.

Apabila terjadi interaksi yang setimbang antar dua belah pihak yang saling mengirim feromonnya tersebut, akan sangat besar kemungkinan keduanya akan menentukan tanggal untuk pergi kencan bersama. Apabila pada saat kencan tersebut interaksi sosial antara kita dan pasangan kita dianggap positif satu sama lain, otak mengirimkan agennya yang lain berupa hormon dopamin, si "hormon senang hati" (agen ke dua). Hormon ini sama efeknya seperti kokain, membawa kita pada keadaan euphoric. Dan yang lebih gawat lagi, kita akan ketagihan untuk mengeluarkan hormon tersebut. Hal inilah yang membuat kita merasa terus senang dan menikmati momen-momen bersama pasangan kita. Karena efek menagihnya tersebut, sebagian besar dari kita mencari jalan agar perasaan tersebut tetap ada seterusnya, dan kalau bisa, selamanya. Di sini lah sesuatu yang selama ini disebut sebagai cinta itu muncul. Dan, tentu saja, cinta itu adiktif! Beberapa dari kita mulai membicarakan apa yang disebut sebagai komitmen, dan selanjutnya, pernikahan, sebagai cara untuk tetap bersama pasangan kita tersebut, serta sebagai cara untuk mempermudah transaksi seseorang terhadap norma sosial, agar secara legal dan moral diperbolehkan untuk memperoleh keturunan.

Salah satu fitur menyenangkan dalam hubungan romantis adalah seks. Seks itu sendiri tidak hanya sekadar prokreasi dan rekreasi. Secara kimiawi, seks memperkuat ikatan antar manusia. Kedua individu yang terlibat mengeluarkan zat dalam kelenjar pituitary masing-masing, yang dinamakan oksitosin, yang sesekali disebut sebagai "hormon pengikat" (agen ke tiga), yang dialirkan ke dalam darah setelah seseorang mengalami orgasme. Hormon ini merupakan hormon yang sama yang menyebabkan kita memiliki ikatan emosional dengan ibu kita ketika masih bayi. Para antropolog beperndapat bahwa oksitosin bisa jadi merupakan mekanisme evolusi untuk memperkuat ikatan antar individu agar mampu menjalin parenthood yang kuat. Dan parenthood yang dimaksud, diawali dengan menyebarnya 300 juta sel sperma ke dalam tuba falopi untuk mencari sebuah sel telur yang siap dibuahi.

Tahapan-tahapan di atas menjelaskan bagaimana pertemuan dua manusia berlawanan jenis dan mengembangkan perasaan yang dinamakan cinta dan berakhir ke hubungan seksual sebagai proses prokreasi. Namun kebudayaan manusia sedemikian kompleksnya sehingga hubungan seksual memiliki fungsinya yang lain yaitu rekreasi. Untuk terjadinya seks dengan fungsi ini, sesekali manusia mem-bypass tahapan-tahapan di atas. Pada beberapa pasangan seksual, hubungan seks dapat dilakukan tanpa harus mengembangkan rasa cinta terlebih dahulu. Dari proses inilah, pola-pola hidup one night stand, open marriage, swinging, atau polyamory terbentuk. Dalam kata lain, jika suatu hubungan seks dilakukan oleh seseorang yang tidak berniat untuk menghasilkan keturunan dari pasangannya, maka cinta tidak berperan di dalamnya, dan otak tidak mengirimkan agen-agen yang telah disebut di atas. Hal ini pulalah yang terjadi dalam pemakaian alat kontrasepsi oral. Salah seorang teman yang pernah saya ajak melakukan diskusi tentang hal ini mengatakan bahwa dirinya pernah membaca pada sebuah artikel akademik bahwa dalam konsumsi pil kontrasepsi, pil tersebut meminta otak untuk berhenti memproduksi hormon-hormon yang dihasilkan perempuan, yang berfungsi untuk menyuburkan sel telur, dan sebagai efek samping, juga menghentikan produksi hormon-hormon yang berfungsi sebagai agen-agen cinta di atas. Sebagai hasil, menurut artikel yang beliau baca, banyak perempuan yang mengonsumsi pil kontrasepsi merasakan bahwa dirinya kekurangan perasaan cinta pada suaminya dan berpotensi untuk menumbuhkan keretakan dalam hubungan mereka.

Kembali ke masalah pembentukan hubungan romantis antara laki-laki dan perempuan, setelah dijabarkan dengan tahapan-tahapan di atas, terkesan bahwa hubungan romantis sebenarnya hanyalah proses biologis untuk menghasilkan generasi lanjutan yang lebih sehat secara genetis. Jika kita tetap membahas dari tatanan ini, akan banyak variabel lain yang menentukan hubungan romantis lainnya yang kita negasikan. Beberapa dari kita mungkin pernah memiliki hubungan sejarah dengan beberapa pasangan, sebelum pasangan kita yang sekarang. Pertanyaan yang muncul ialah, apabila kita pernah mengembangkan perasaan cinta dan melakukan hubungan romantis dengan seseorang demi menghasilkan keturunan yang sehat secara genetis, mengapa kita harus repot-repot merasakan dinamika naik-turunnya hubungan percintaan kita dengan seseorang, putus cinta, patah hati, dan sebagainya. Mengapa seseorang yang telah kita konfirmasi feromonnya dan otak kita sudah menyuruh agen-agennya untuk mengembangkan rasa cinta dan seterusnya harus kita tinggalkan dan meninggalkan kita. Apakah otak kita salah dalam menerima rangsang tersebut, atau apakah hormon-hormon tersebut mengalir dalam darah kita dengan sendirinya tanpa harus menerima hasil konfirmasi otak tentang feromon seseorang. Pada tahap inilah peran-peran lingkungan sosial lebih berpengaruh dalam diri seseorang daripada sekadar memenuhi tuntutan biologisnya. Entah itu yang namanya ketidak cocokan, proses komunikasi yang tidak seimbang, tuntutan orangtua dan keluarga, perbedaan atribut (agama, suku, dan lainnya), adanya orang lain sebagai pembanding, hingga perpisahan (long distance serta kematian). Manusia sampai pada titik ketika kebutuhannya untuk bereproduksi harus mengalami kegagalan karena cinta, sebagai modal utama untuk melakukan reproduksi, juga mengalami kegagalan karena faktor-faktor sosial di atas. Ketika sepasang kekasih juga memutuskan untuk kembali menjalin hubungan romantis setelah sebelumnya hubungan mereka menemui kegagalan (dengan kata lain balikan sama mantan), transaksi yang terjadi lebih merupakan proses dinamika sosial antar keduanya, daripada faktor biologis semata.

Lebih lanjut, manusia tetap mencari kembali pasangan yang ia nilai cocok bagi dirinya setelah mengalami perpisahan dengan pasangan sebelumnya. Proses yang ia lakukan dalam menentukan pasangan yang tepat akan kurang lebih sama dengan yang telah dikemukakan pada awal tulisan ini, dengan feromon dan hormon-hormon pendukung lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan lanjutan. Hampir semua orang menentukan pasangannya sesuai dengan preferensi masing-masing. Preferensi ini termasuk ciri fisik dan kepribadian. Pertanyaannya, apakah hanya semata karena hidung kita menangkap feromon lawan jenis kita yang membuat kita menentukan pasangan kita (berbasis genetik) atau kesesuaian dengan ciri yang dimaksud di atas yang lebih menentukan? Bisakah seseorang menolak pilihan otaknya karena secara fisik dan mental tidak sesuai dengan ciri yang kita susun? Saya akan mengemukakan pendapat saya, yang semata merupakan hasil pengolahan otak semata, tanpa pernah membaca atau mendengar penelitian tentang hal ini.

Jika kita ingat pelajaran ketika kita masih duduk di bangku SMP dahulu kala, ada suatu cabang dari mata ajar biologi yang dipekenalkan ke kita, yaitu genetika. Pada subjek ini, kita diajarkan tentang hukum-hukum mendel serta konsep-konsep awal genetika lainnya. Kita tentu juga pernah mendengar istilah genotip dan fenotip. Genotip merupakan kanstitusi genetik pada sebuah sel, organisme, atau individu, yang memeiliki referensi terhadap karakter-karakter tertentu. Sedangkan fenotip adalah ciri-ciri nampak dan observable dari konstitusi genetik tersebut. Bagi lalat buah Drosophilla melanogaster atau toge sepertinya tidak sulit untuk menentukan suatu ciri tertentu (fenotip) diwakili oleh kode gen yang mana (genotip), karena kompleksitas genetika mereka yang sederhana. Mamalia, lebih khususnya manusia memiliki sel-sel, organel, organ, serta fungsi-fungsinya yang jauh lebih kompleks sehingga sulit untuk menentukan ciri genotip mana yang menentukan ciri fenotip tertentu. Dalam kaitannya dengan hal yang sedang kita bahas, secara rasional cukup sulit bagi manusia awam untuk menentukan rangkaian genetika mana yang secara kasat mata terlihat dan membuat kita yakin bahwa seseorang memiliki rantai genetis tertentu yang membuat keturunannya apabila bercampur akan menghasilkan gen yang lebih kuat (genotip). Sekilas nampaknya hal ini tidak dapat terlihat dari sekadar pola perilaku seseorang, kepribadian, maupun ciri-ciri fisik dari seseorang (fenotip). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua sistem kesatuan psikofisik yang ada dalam diri manusia pasti memiliki basis genetika di dalamnya. Yang mau saya nyatakan adalah saya menangkap adanya kemungkinan bahwa preferensi fisik maupun kepribadian terhadap menentukan pasangan pada seseorang juga memiliki basis genetika, dengan kata lain, adanya keterkaitan antara preferensi kita terhadap ciri fenotip individu dengan ciri genotipnya, dengan akurasi yang beragam mulai dari 0 hingga 100%. Kebutuhan kita untuk mendapatkan suatu ciri gen yang kita anggap penting bagi keturunan kita kita manifestasikan ke dalam pemilihan pasangan sesuai dengan karakteristik fisik maupun mental yang kita anggap ideal, walaupun, tentu saja, kita tidak dapat mengetahui ciri mana yang mewakili rantai genetika tertentu. Ada baiknya dilakukan penelitian yang sifatnya multidisiplin mengenai hal ini untuk memperkaya sudut pandang ilmu pengetahuan dalam memandang hubungan sosial antar manusia (ada yang berminat??).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun