Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Menjadi Guru Potensial di Era Milenial

26 November 2017   14:16 Diperbarui: 26 November 2017   14:25 3448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi foto : www.tes.com]

Hari guru telah berlalu. Meme dan ucapan tentang guru sudah beredar menghiasi media sosial, surat kabar dan layar kaca. Banyak yang memberikan selamat, ada yang mengkritik, ada pula yang menuntut hak-hak guru. Memang, profesi menjadi guru atau tenaga pendidik masih menyiratkan banyak masalah dan ironi. Berbagai sudut pandang mewarnai arah pendidikan di Indonesia yang tak kunjung bersinar di kancah dunia. 

Dari segi profesi, guru masih dianggap seperti "buruh" yang cukup dihargai seadanya. Masih banyak ketimpangan antara guru di kota, di pelosok, di sekolah swasta, maupun di sekolah negeri. Dari segi kuantitas dan kualitas, ada ironi dan masalah yang berbeda di setiap sekolah-sekolah di daerah dan kota besar. Bahkan, semakin hari di era globalisasi, semakin banyak "guru ex-pat" , atau guru asing yang kualitasnya lebih mumpuni ketimbang guru lokal yang biasa-biasa saja. Ini adalah tantangan untuk semua guru di negeri sendiri. Namun, dengan peliknya masalah yang dihadapi guru, seharusnya tak menyurutkan semangat untuk menjadi guru potensial di zaman milenial ini. Zaman sudah berubah dengan cepat. Apabila kualitas guru masih biasa-biasa saja, maka "output" nya pun akan biasa-biasa saja. Sebaliknya, apabila potensi guru dimaksimalkan "input"nya, maka "output"nya akan "extraordinary" (luar biasa).

Guru di masa sebelum dan masa Orde Lama, akan berbeda dengan guru di masa Orde Baru. Guru di masa Orde Baru, akan berbeda di masa Reformasi. Dan guru di masa Reformasi, tentunya akan berbeda dengan guru di masa Milenial saat ini. Ingat, zaman berubah dengan cepat! Guru yang tidak mampu beradaptasi, akan menjadi guru yang "mati". Guru yang tidak melek teknologi, akan menjadi guru "konvensional" yang akan segera ditinggalkan. Mereka yang berprofesi guru saat ini hanya memiliki satu pilihan, berkembang atau "mati" (survive or die). Padahal yang dimaksud melek teknologi tidak harus ahli, cukup paham, mengerti dan mampu mengaplikasi sudah lebih dari cukup.

Menjadi guru potensial memang sudah menjadi kewajiban di era Milenial. Potensial yang dimaksud bukan hanya ahli dalam bidang mata pelajarannya saja, tapi ahli dalam berbagai bidang lain. Kalau hanya ahli dalam satu bidang yang dikuasainya saja (mengajar bidangnya saja), maka guru tersebut masih tergolong guru biasa saja, belum guru "extraordinary".  Lantas, bagaimanakah guru potensial di era milenial yang dimaksud? Berikut tips menjadi guru potensial:

1.Guru Ibarat Burung Elang

Anda pasti paham sosok burung elang. Sayap lebar, mata tajam, paruh kokoh, dan cengkraman cakar kaki yang kuat. Ini analogi yang seharusnya ada di tiap guru masa kini. Ibarat elang yang ingin terbang tinggi, guru harus mampu melebarkan "sayap" di bidangnya masing-masing. Tidak hanya terpaku di satu buku, namun memperbanyak literasi di berbagai sumber dan referensi lain. Melakukan "research" atau penelitian, studi kasus, mencari pembenaran, atau bahkan melihat dari sisi lain. Ingat, di dunia ini ada hitam dan ada putih, ada pro dan kontra, ada sisi "kiri" dan ada sisi "kanan". Guru yang baik, harus bisa memahami semua sisi tersebut. Bila anda mengajar Matematika, ada banyak rumus hitung. Bahkan ada rumus hitung yang wajar, ada pula cara hitung cepat yang tidak wajar. Bila anda mengajar Sejarah Indonesia, ada saatnya menjelaskan sisi kelam sejarah kemerdekaan RI, dan sisi baiknya. Atau bila anda mengajar Kewarganegaraan, ada saatnya anda mampu menjelaskan sisi Komunisme dan sisi Demokrasi.

Guru harus memiliki mata yang jeli, materi mana yang layak diajarkan, meskipun ada yang "tabu" namun apabila disertai penjelasan yang bisa dipahami dengan baik oleh peserta didik milenial, maka "ketabuan" tersebut akan menjadi informasi dan literasi yang membuka jalan pikiran mereka. Penjelasan dan penyampaian  gaya ajar yang berkualitas dari guru ibarat paruh elang yang kokoh mengajarkan idealisme. Atau setidaknya mengajarkan ke peserta didik, cara beridealisme yang baik. Ingat, generasi milenial butuh pemikiran yang idealis. Hanya orang-orang idealis yang mampu bertahan dari gempuran koruptism. Guru kokoh, menghasilkan murid yang kokoh pula (kokoh = jujur, integritas, idealis, berdaya saing, memiliki tujuan).

Dan yang terakhir, guru harus memiliki cengkraman kuat, tidak hanya untuk dirinya, namun untuk anak didiknya. Dalam artian, guru potensial baiknya mampu memahami potensial anak didiknya. Mereka yang memiliki potensi bagus dalam bidangnya, dicengkeram, agar ia semakin ahli. Bila ada yang belum terasah potensinya, latih terus menerus, sampai tajam. Bila sudah dirasa mampu, biarkan mereka terbang sendiri. Ibarat elang mencengkeram mangsa, artinya ada tujuan yang pasti di masa depan. Mau dibawa kemana anak-anak didik ini dibawa, harus jelas. Jangan biarkan mereka digantung begitu saja. Semua tergantung anda ingin menjadi guru kualitas burung elang atau menjadi guru kualitas anak ayam yang kehilangan induknya.

2.Guru Itu Psikolog

Anda paham pekerjaan seorang psikolog? Nah, menurut saya, seorang psikolog belum tentu guru. Namun, pada dasarnya semua guru, adalah psikolog. Alasan mendasarnya adalah setiap guru dalam profesinya setiap hari berhadapan dengan tingkah laku atau perilaku peserta didik. Seorang guru potensial, harus mampu memahami perilaku setiap peserta didik yang diajarnya. Bila tidak mampu, anda belum menjadi guru potensial. Hanya guru biasa, mengajar karena ada gelar. Biasanya hal yang paling sulit justru bukanlah mengajar, namun memahami perilaku anak didik yang berbeda-beda, bahkan berubah-ubah.

Inilah mengapa di tiap-tiap perusahaan besar di departemen "human resources" mereka selalu memiliki seorang psikolog untuk memahami perilaku pegawai mereka. Bahkan tes kejiwaan pun diterapkan sebagai dasar penerimaan pegawai baru. Karena,  berurusan dengan kejiwaan dan perilaku manusia lebih berat dan mempengaruhi kinerja perusahaan di masa mendatang.

Kondisi kejiwaan orang dewasa lebih matang dan lebih bisa dipahami. Namun apabila anda guru, kondisi kejiwaan dan perilaku anak didik lebih rentan dan rapuh. Bahkan kondisi perilaku anak sd berbeda dengan anak smp, begitu juga anak smp, berbeda dengan anak sma dan mahasiswa. Sebagai guru, harus paham dengan siapa dia berhadapan. Tidak bisa memukul rata gaya ajarnya di kelas. Apabila ada masalah perilaku dengan anak didiknya, harus paham prosedur yang bagaimana yang harus dilakukan. Bahkan tren saat ini, kondisi perilaku anak milenial sudah berbeda dengan anak pra milenial. Oleh karena itu, guru harus mampu membaca situasi.

Tiap anak didik memiliki latar belakang berbeda, kondisi kejiwaan juga berbeda, penanganannya pun juga berbeda. Bila lingkup pendidikan anda memiliki ahli psikolog, akan sangat membantu, namun bila tidak, guru adalah psikolog. Oleh sebab itu, setiap guru baiknya belajar ilmu dasar psikolog, berteman dengan psikolog, mencari literasi tentang psikologi dan sering berkonsultasi. Ini kewajiban, bukan nilai tambah bagi guru. Anda harus memahami bagaimana menangani anak pelaku bullying dan korban bullying, mengerti bagaimana kondisi anak didik yang depresi, antisosial, minoritas, berkebutuhan khusus , dan menyimpang. Tidak hanya yang bermasalah, yang tidak bermasalah pun akan menjadi masalah apabila tidak dikenali sejak dini oleh guru. Peran guru lah menjadi psikolog di kelas. Belum lagi menangani perilaku orang tua murid yang berbeda pula. Hal ini dibutuhkan keprofesionalitasan guru sebagai orang tua kedua. Jangan menjadi guru yang menghindar dari masalah.

3.Guru Dan Aplikasi

Tidak dipungkiri lagi, teknologi adalah jendela dunia ke arah yang lebih baik. Bahasa kasarnya saat ini, guru yang tidak melek teknologi sama dengan "ndeso" (bahasa jawa=kampungan, ketinggalan zaman, tradisional, konvensional, kuper). Guru milenial wajib, (sekali lagi wajib!) memahami perkembangan internet dan aplikasi terkini. Guru konvensional hanya sebatas mampu menggunakan mesin ketik di masa lampau, namun guru online harus mampu memahami kerja laptop dan smartphone untuk mendukung cara ajar mereka. Inipun tidak sekedar mampu mengoperasikan, tapi mampu mengoptimalkan fungsinya. Mencari sumber, contoh, literasi, referensi, bahan ajar berkualitas melalui teknologi adalah kewajiban guru milenial, bukan lagi kebutuhan sekunder tapi primer. Bila belum bisa, belajarlah, bertanya atau otodidak. Akan sangat miris apabila ada guru yang bilang "saya tidak bisa", guru lembek kalau saya bilang. Teknologi tidak memakan usia tertentu, semua kalangan mampu memanfaatkan teknologi. Hanya yang malas bergerak yang akan bilang seperti itu.

Apalagi perkembangan media sosial yang tinggi saat ini, guru milenial harus mampu mengikuti. Anak milenial mengedepankan media sosial dan aplikasi sebagai kebutuhan primer bersosialisasi. Perlu ada pengawasan dan kontrol yang bijak dari guru untuk memahami. Akan lebih baik memanfaatkannya dalam materi belajar di lingkup pendidikan.

Bahkan, aplikasi pendidikan sudah bermunculan baik untuk guru, maupun untuk siswa (contoh: ruangguru.com, quipper, edmodo, dll). Pendidikan berbasis start-up digital pun akan segera dirancang oleh pemerintah Indonesia dalam waktu dekat. Ini adalah kemajuan yang tidak bisa ditolak oleh guru-guru. Berkembang atau berjalan di tempat.

4.Guru Itu Teman

Pernahkah anda semasa sekolah memiliki guru yang saat datang melangkahkan kaki ke kelas, kompak satu kelas tersebut terdiam dari awal sampai akhir mata pelajaran? Karena takut dengan gurunya yang super galak. Sampai sekarangpun masih banyak guru seperti itu. Meski terkadang peran guru galak di sebuah sekolah diperlukan, namun di era milenial saat ini akan kurang cocok untuk diterapkan. Lain halnya dengan guru tegas dan mendidik. Di era milenial, anak milenial lebih cocok dengan pendekatan "diplomasi" ketimbang "anarki". Guru milenial ternyata dituntut untuk menjadi teman berdiskusi sesuai profesi kependidikan. Murid milenial lebih senang dan menyerap pelajaran dengan baik, apabila penyampaian guru yang lebih seperti teman saat berdiskusi biasa. Tentunya dengan batasan antara murid dan guru. Guru yang menyenangkan, tidak membosankan, mengikuti tren murid, cara penyampaian yang "smart", sikap yang baik, jujur dan tidak plin-plan adalah tipe guru yang disenangi. Istilahnya "friendly". Bukan guru yang membuat bulu kuduk berdiri dan "anarkis". Ini semua tergantung dari cara penyampaian guru dan tentu saja perilaku guru. Perilaku guru yang baik (tidak dibuat-buat), akan lebih mendapatkan "respect" yang baik pula. Sebaliknya guru yang tidak dihormati, anak didik akan enggan belajar atau memahami pelajarannya dengan baik.

Membuat situasi dan kondisi yang sama-sama nyaman adalah peran guru. Menjadi guru adalah tentang membangun kepercayaan dengan murid. Karena ikatan guru dan murid akan abadi sepanjang hayat. Murid dan guru boleh silih berganti, namun ikatan kepercayaan akan selalu menjadi memori. Akan lebih baik memori itu diisi dengan kenangan yang baik antara guru dan murid. 

Logikanya, ikatan guru dan murid yang baik menimbulkan pengaruh terhadap penyampaian materi yang baik pula, juga akan merambat ke hubungan yang baik antara orang tua murid dan guru. Alhasil akan menciptakan lingkup belajar yang nyaman. Orang tua murid merasa tenang anaknya dididik oleh guru yang baik dan berkualitas, guru pun merasa didukung oleh murid dan orang tua murid karena ikatan kepercayaan tersebut. Ingat, guru adalah orang tua kedua.

Ini adalah beberapa tips menjadi guru potensional, bukan guru biasa-biasa saja. Juga akan lebih baik bila guru bisa berprestasi diluar bidang ahlinya. Artinya memiliki skill lain yang bisa dibanggakan dan menjadi role model bagi anak didiknya. Karena menjadi guru, tidak sebatas mengajar di kelas. Justru semakin banyak ilmu, prestasi, hobi yang bisa ditularkan ke anak didik atau orang lain akan membuat profesi guru dipandang tinggi dan bermartabat. Guru yang menginspirasilah yang dicari negeri ini, bukan guru yang dicaci maki. Selamat Hari Guru, Kawan!

Ulan Hernawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun