Mohon tunggu...
ukim komarudin
ukim komarudin Mohon Tunggu... -

Guru SMP Labschool Kebayoran, Penulis, dan Motivator

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pantang Menyakiti Orang Lain

22 Maret 2014   04:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu kali, dalam sebuah kesempatan ajang silaturahmi, Pak Arief pernah menyampaikan sebuah cerita yang membuat kami merasa sangat ketakutan. Betapa tidak, nasihat yang dibungkus dalam cerita itu terasa menohok batin. Mengingatkan kami akan segala kekhilapan yang telah kami lakukan.

“Dulu, ada seorang hamba yang sangat kerap mendzalimi saudaranya sendiri. Perbuatannya, bisa jadi seperti yang pernah kita lakukan.  Jika ada orang lain yang tidak sengaja bersikap atau berbuat  lebih baik darinya, maka ia menggunjingnya. Bila sang rival itu sepadan dengannya, maka dirinya bisa saja memaki atau bila perlu melabraknya. Apalagi jika yang menyinggungnya itu dianggap statusnya berada jauh dibawah dirinya, maka dirinya tanpa ampun menyakitinya. Demikianlah perilaku itu menjadi kebiasaannya. Bahkan, akhirnya menjadi karakter hidupnya.

Tapi Tuhan maha pengasih. Di suatu hari yang penuh berkah, menangislah sang hamba tadi dengan tangisan yang sejadi-jadinya. Semua dosanya seolah menghantuinya. Siang-malam terbayang orang-orang yang ia sakiti jiwanya. Wajah-wajah memelas. Wajah-wajah ketakutan.  Raut wajah  sedih yang berharap dikasihani.  Dan, wajah-wajah itu mendatanginya saat ia terbaring tidur, maupun kala ia terjaga.

Hari demi hari kegelisahan itu makin menghebat. Ia dikejar rasa bersalah dan penyesalan yang tiada tara. Demikian perasaan itu makin hari makin berkecamuk, hingga membuat dirinya dirundung penyakit yang tak ditemukan obatnya.

Dalam kungkungan rasa gelisah yang berkepanjangan, sang hamba mendatangi seorang kyai yang katanya punya pemahaman hidup yang mumpuni. Tanpa ragu-ragu ia menceritakan apa yang kini dideritanya.

“Sekarang, apa yang Engkau inginkan dariku?” Kyai bertanya setelah sang hamba menyudahi ceritanya.

Segera sang hamba menjawab, “Saya ingin Tuhan memaafkan semua dosa-dosa saya”

“Kalau begitu, mari kita naik ke bukit. Bawalah bantal dan pisau. Kita akan mengadakan ritual di sana!”

Sang hamba bingung. Ia tak mengerti apa yang akan dilakukan sang kyai pada dirinya. Apakah pisau itu akan dipakai untuk menggorok lehernya dan bantal itu adalah penyanggah kepalanya? Ia tak tahu. Derita dosa yang menggunung membuat dirinya tabah menghadapi segala kemungkinan pahit. Sambil terus menyusur jalan setapak menuju bukit,  jiwanya pasrah. hingga tak terasa, mereka berdua telah sampai ditempat yang tinggi, hingga tatapan bisa bebas menatap sekelilingnya.

“Kau ingin segala dosamu diampuni Tuhan?” Kyai seperti kembali mengingatkan tujuan sang hamba.

“Benar, Kyai!” jawab sang hamba mantap.

“Kalau begitu, bersiaplah!” seru sang kyai.

Direbutnya pisau dan bantal yang tadi digenggam sang hamba. Diangkatnya tinggi-tinggi bantal itu. Tanpa diduga, pisau yang ada ditangannya ditebaskan ke bantal itu berulangkali. Hingga kapuk yang berada dalam bantal itu berhamburan.  Angin yang tertiup kencang segera menerbangkan tebaran kapuk-kapuk itu. Hamburan itu awalnya terbang berputar, lalu menjauh, kemudian mengangkasa.

Lalu, dengan wajah garang sang kyai memerintah. “sekarang, supaya dosa-dosamu diampuni Tuhan, tangkap kapuk-kapung yang berterbangan itu!”

Sang hamba hanya bisa terpana mendengar teriakan orang yang dihormatinya. Tak dikira,  sang kyai memerintah hal yang tak mungkin dia lakukan.

“Ayo cepat tangkap kapuk-kapuk yang berterbangan itu! Cepat!” sang Kyai nampak semakin garang.

“Cepat!!!”, nampak sekali Kyai semakin marah.

“Ayo cepat tangkap dan kumpulkan kembali semuanya! Bukankah engkau ingin semua dosamu dimaafkan Tuhan?”

Mendengar hardikan demi hardikan itu, sang hamba hanya bisa menangis. Matanya menatap nanar kapuk-kapuk yang terbang menjauh, mengangkasa, dan sebagian menghilang.

“Mana mungkin, Kyai!” di sela isaknya. “Mana mungkin saya mengejarnya. Semua sudah pergi. Semuanya tak mungkin saya temui lagi!”

Akhirnya, sang kyai mendekat. Sambil menepuk pundak sang hamba, ia berkata lirih. “Ya. Kau tidak mungkin bisa mendatangi satu persatu orang yang telah kau sakiti untuk meminta maaf. Bisa jadi mereka telah meninggal dunia. Atau bisa juga telah menjauh dari kita dan sulit untuk ditemui. “

Sang kyai mengajak sang hamba duduk di bawah pohon yang rindang. Udara sejuk sedikit menenangkan jiwanya yang terguncang hebat. “Begitulah mudahnya berbuat dosa semudah menebarkan kapuk-kapuk itu ke angkasa. Tetapi meminta maaf kepada orang-orang yang telah kita sakiti, sesulit mengumpulkan tebaran itu. Sebab, ia bisa saja telah pergi karena ruang dan waktu yang cepat menelannya.”

“Lalu, apa yang harus saya lakukan, Kyai? Masih mungkinkah dosa saya diampuni Tuhan?”

“Berharaplah terus akan kemurahan Tuhan dengan bertobat kepadanya. Cegahlah segala kemungkinan menyakiti hati orang lain, meski itu baru terbersit dalam hatimu.  Perbanyaklah silaturahmi. Insya Allah, Tuhan menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya”

Kami yang hadir hanya bisa menunduk mendengar cerita beliau. Tiba-tiba semua kealfaan seolah mendatangi dan mengingatkan betapa banyak kesalahan yang telah kami perbuat kepada sesama manusia. Tiba-tiba, kami bersyukur kepada yang mahakuasa bahwa kami masih diberi usia panjang untuk giat bersilaturahmi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun