Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Miskonsepsi Istilah "Obyektif-Subyektif"

14 Februari 2020   07:03 Diperbarui: 14 Februari 2020   14:42 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : El Albar blog's

Lalu di ranah itu orang memang relevan bila memparalelkan makna 'obyektif' dengan 'empirik' atau suatu yang dapat dibuktikan secara empirik dan 'subyektif'dengan suatu yang tidak bisa dibuktikan secara empirik karena dianggap hanya suatu pandangan yang bersifat pribadi. Sehingga (di ranah empirik itu) bila subyektifitas itu ingin diterima sebagai kebenaran (empirik) ya satu satunya jalan harus di empirikkan atau harus memberi fakta-bukti empirik.

Tapi ingat, rumusan ini hanya berlaku di wilayah ilmu empirik dan keliru kalau diterapkan juga di wilayah ilmu atau persoalan metafisik karena rumus atau proposisi metafisis itu tidak mengacu pada atau tidak bersandar pada bukti empirik langsung. sebagai contoh, rumusan rumusan atau hukum logika atau rasionalitas itu bukan berdasar pada obyektifitas dalam artian bukan mengacu pada bukti empirik yang langsung dapat ditangkap semua orang tapi pada proposisi proposisi yang dapat diterima oleh cara berfikir akal manusia.

Dengan kata lain, apa yang akan terjadi ketika polarisasi istilah obyektif-subyektif yang biasa digunakan di wilayah ilmu empirik itu (dimana obyektifitas diparalelkan dengan bukti empirik) serta merta dan lalu secara semena mena digunakan juga di wilayah ilmu serta persoalan metafisik? Dan lalu secara semena mena pula digunakan untuk menghakimi proposisi proposisi metafisis?

Inilah yang sering terjadi di ranah ilmu pengetahuan,proposisi proposisi metafisis secara semena mena sering di vonis sebagai 'bukan kebenaran-bukan wilayah ilmu-hanya sekedar wacana-hanya asumsi pribadi' hanya karena dianggap tidak obyektif dalam artian 'tidak membawa atau berdasar bukti empirik langsung' dan lalu seluruh kepercayaan metafisis pun dimuarakan ke ranah subyektifitas dan lalu ranah serta persoalan metafisis pun seolah dipandang berjauhan dengan prinsip obyektifitas-dengan hal yang dapat diterima dan disepakati bersama sebagai kebenaran. Sehingga seolah tak ada obyektifitas atau sifat obyektif di ranah metafisika, seolah ranah metafisika dengan seluruh persoalannya hanyalah ranah subyektif dan karenanya tak dapat dijadikan tolok ukur serta tak dapat dipegang sebagai kebenaran.

Ini tentu suatu yang menyakitkan bagi para pecinta dan orang orang yang sudah biasa mendalami persoalan metafisika. Bayangkan bahwa membuat rumusan rumusan hasil berlelah lelah menelusuri persoalan metafisis itu oleh kaum empiris dengan simpel lalu disebut 'hanya asumsi pribadi' karena dianggap hanya suatu yang berasal dari wilayah subyektif.

Bagaimana melawan stigma negatif (terhadap hal metafisis) yang menyakitkan yang sudah bukan rahasia lagi terjadi di ranah ilmu pengetahuan itu ? Insya Allah akan saya bahas nanti dalam bab kedua dari tulisan yang baru ditujukan sebagai pengantar umum ini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun