Mohon tunggu...
Syarifuddin
Syarifuddin Mohon Tunggu... -

Menulis adalah cara kita menyampaikan pesan kepada khalayak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membincang Politik

9 April 2016   21:51 Diperbarui: 9 April 2016   22:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Oleh :

SYARIFUDDIN 

Membincangkan politik memang tidak akan ada ujung pangkalnya, makin dibincangkan wacananya makin melebar dan makin banyak pula variabelnya. Tidak ada ilmu khusus yang bisa dijadikan esensi politik yang sebenarnya melainkan politik itu adalah strategi membangun kekuatan, dan kemampuan untuk meraih simpati sosial. 

Setiap kali kita menyebut kata politik maka yang terlintas dalam pikiran setiap orang adalah membangun kekuatan untuk meraih kekuasaan sebab politik didefenisikan sebagai jalan untuk meraih kekuasaan sehingga mainstrem isunya adalah kalah dan menang dalam setiap pertarungan, maka untuk meraih kekuasaan ada dua bentuk kekuatan yang dibangun yakni kekuatan uang dan pengaruh orang-orang besar untuk mempropaganda massa untuk memilihnya. 

Kenyataan seperti itu bukanlah hal yang baru dalam setiap perhelaran politik baik dalam kanca politik Nasional maupun kedaerahan. Keduanya saling memberi pengaruh yang sangat kuat. Uang digunakan sebagai cost politik bahkan sampai membeli suara masyarakat sedangkan orang-orang besar digunakan sebagai kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Ciri politik yang sangat pragmatis itu tidak dapat dihindari sebab ciri tersebut telah menjadi trend sosial baru dalam kanca politik dimana setiap perhelatan politik tentu saja isunya hanya seputar kekuatan uang dan orang-orang besar dibelakangnya bahkan penyelenggara pemilu pun kadang ikut andil dalam menentukan sebuah kemenangan.

Gaya politik egalitarian, saling intrik antar kelompok pendukung dianggap sebagai bagian dari dinamika politik sehingga saling hasut, iri dan dengki telah menjadi nilai baru dalam berpolitik, semuanya dipandang sebagai jalan untuk meraih kekuasaan dan itulah esensi perjalanan politik setiap orang yang menganggap bahwa dalam politik tidak ada kasta yang dominan melainkan siapa yang mampu mencuri simpati rakyat.

Kedua cara pandang politik itu sangat sulit dihindarkan karena walaupun keduanya berbeda tetapi bedanya hanya pada jumlah suara pendukungnya saja tetapi metodologi politik dan tujuan politiknya tetap sama yakni mengarahkan seluruh kekuatan uang dan orang-orang besar untuk mengambil hati rakyat demi sebuah kemenangan, sebab tidak ada kelompok yang kalah yang benar-benar ikhlas menjadi oposisi murni demikian pula sebaliknya, tidak ada kelompok pemenang yang rela mengakomodir kepentingan para oposan.

Mungkin ada benarnya kata sahabat saya bahwa politik itu tidak bisa dilihat hanya sebatas defenisi diatas kertas semata dimana setiap orang secara teoritis membenarkan bahwa dalam berpolitik yang sejati adalah mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan bahwa kalah dan menang bukanlah substansi politik melainkan hasil dari implementasi strategi yang tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan serta tidak membeli kemenangan. Namun fakta politik adalah kenyataan sosial yang tidak bisa dihindari sekalipun itu jalannya bebas nilai. 

Artinya, jika anda kalah maka bersiaplah menerima kenyataan pahit untuk tidak memegang kendali pengelolaan aset negara karena pemenang dan supporting unitnya tidak ikhlas melepasnya. Itulah sebabnya setiap pergantian kekuasaan selalu  berbeda kebijakannya karena dalam mengelola aset daerah, distribusi sumber daya akan lebih banyak didominasi oleh supporting unitnya sebagai bentuk hubungan timbal balik antara penguasa dan supportingnya. Itulah sebabnya dalam setiap periode kepemimpinan kebijakannya selalu berubah karena salah satu penyebabnya adalah desakan supporting unit yang meminta jatah dan cenderung memaksakan kehendak.

Jika seperti itu seharusnya politik dijalani, maka setiap orang yang masuk dalam kanca politik akan memandang bahwa untuk mendapatkan kekuasaan maka saling intrik, saling sikut, saling menjatuhkan kehormatan sesama adalah sah-sah saja, bahkan menukar suara dengan uang pun dibolehkan dengan dalih cost politik.

Cara pandang seperti itu bukan hal yang baru tetapi perjalanan politik pasca reformasi telah menjadi trend yang makin tahun makin menanjak bahkan anehnya hal itu seringkali dijadikan sebagai indikator peningkatan indeks demokrasi Indonesia tanpa melihat seberapa besar norma-norma yang telah dilanggar dalam perebutan kekuasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun