Mohon tunggu...
Nurulhuda
Nurulhuda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bekayat Tradisi Suku Sasak

8 Mei 2016   18:24 Diperbarui: 8 Mei 2016   18:32 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto sendiri (dok.pri)

Islam suku sasak telah mengenal bekayat (membaca hikayat) sejak jaman hindu-budha berkuasa sampai saat inipun tradisi ini masih di lestarikan di selurah daerah yang ada di pulau Lombok.

Acara bekayat merupakan teradisi membaca kitab-kitab kuno berbahasa melayu diatas daun lontar atau kertas biasa pada acara-acara tertentu. Misalnya pada acara peringatan isra mi’raj nabi Muhammad SAW, maulid nabi, sunatan, dan perkawinan.[1]

Dalam pembacaan hikayat dibaca oleh seorang pembaca hikayat atau seseorang yang sudah ahli dalam membaca hikayat dengan alunan nada yang khas dan di terjemahkan oleh seseorang yang lain dengan bahasa sasak. Bekayat di lakukan oleh tiga orang yang dimana dua orang sebagai pembaca kitab kuno dengan menggunakan alunan nada yang khas saling bergantian dan orang yang satunya lagi sebagai penerjemah atau seseorang yang mengartikan dari bacaan hikayat tersebut.

Bekayat biasanya di lakukan setelah acara yang akan di peringatkan tersebut misalnya seperti yang terjadi di tempat saya tinggal ampenan kampung banjar Lombok NTB  dimana kemarin pada perayaan isra mi’raj nabi Muhammad SAW 1437H  pada malam jum’at tanggal 5 mei 2016 di masjid perayaan isra mi’raj di laksanakan pada bakda solat isya setelah acara isra mi’raj selesai baruklah pembacaan hikayat di mulai kitab yang dibaca adalah kifayatul muhtaf yang bercerita tentang kisah naiknya Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsho ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah Sholat. Biasanya pembacaan hikayat di lakukan pada malam hari sampai subuh dan pembaca hikayat yang kami undang  ada tiga orang yaitu dari labu api Lombok barat adalah bapak H.saharudin, bapak kamarzun dan bapak sahnan.

Bekayat sebagian dari tradisi dan adat budaya, bekayat juga mengharuskan adanya kemalik (semacam ikat pinggang berbahan benang), beras kuning, air bunga, benang warna hitam dan putih yang ditaruh diatas wadah.

Sedangkan di atas mereka membaca terdapat kain hitam yang dibentangkan diantara kain putih.

Kandungan maknanya, sebersih dan sesuci apapun manusia, pasti terdapat noda dan kesalahan dalam diri yang harus dibersihkan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pada zaman sekarang ini sebagian dari prasyarat sudah banyak yang hilang.

Tradisi bekayat hingga kini masih tetap lestari, berbeda dengan tradisi-tradisi lain yang kian hilang karena tergerus zaman, bekayat tetap ada karena peran pembacanya karena dalam satu kampung bisa terdapat 4 hingga 5 pembaca yang masih aktif.

Mereka terdorong oleh niat melestarikan tradisi leluhur meski tidak mendapatkan imbalan material yang cukup cukup dengan suguhan yang telah disediakan oleh para ibu rumah tangga untuk acara tersebut.[2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun