Mohon tunggu...
UBAIDILLAH
UBAIDILLAH Mohon Tunggu... Pemerhati Bahasa dan Budaya

Menulis adalah cara saya merekam jejak pikiran. Seorang pengajar sekaligus peneliti yang gemar menautkan ilmu dengan realitas sehari-hari. Lewat Kompasiana, saya ingin berbagi catatan, refleksi, dan opini agar tetap terhubung dengan publik yang lebih luas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menguji Program "Pembinaan Mental" Negara: Sudah Amankah Mental Bangsa Kita?

21 September 2025   07:51 Diperbarui: 21 September 2025   16:18 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rekap Data Demoralisasi (Sumber dokumen pribadi penulis)

Program Mulia Negara

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia gencar membumikan nilai-nilai kebangsaan dan keberagamaan melalui berbagai program moral dan ideologis. Mulai dari Moderasi Beragama (Kementerian Agama), Program Internalisasi Pancasila atau PIP (BPIP), Revolusi Mental (Kemenko PMK), hingga Penguatan Pendidikan Karakter atau PPK (Kemdikbudristek). Di tingkat lokal, program Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kampung Moderasi juga digulirkan sebagai upaya membentuk masyarakat yang toleran, religius, dan nasionalis.

Semua ini seolah lahir dari satu keprihatinan besar: bahwa "mental bangsa" sedang menghadapi krisis. Maka negara mengambil peran aktif, bahkan dominan, dalam membina moralitas publik. Namun di tengah intensitas pelatihan, seminar, dan kampanye publik yang menyertai program-program ini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana program moral negara benar-benar mengubah cara berpikir dan bertindak masyarakat, baik di tingkat akar rumput maupun elite birokrasi?

Moralitas yang Diajarkan vs. Realitas yang Dihadapi

Secara administratif, program-program ini tampak masif. Ribuan ASN, guru, penyuluh agama, hingga tokoh masyarakat telah mengikuti training of trainers (ToT) dan pelatihan nilai. Modul digital dan cetak disebarkan, jargon seperti "moderasi", "kebhinekaan", "etika publik", dan "karakter Pancasila" digaungkan.

Namun realitas sosial tidak selalu bersesuaian. Laporan Setara Institute (2024-2025) menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) justru meningkat. Dalam periode Januari–Desember 2024 saja, tercatat 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB, naik dari 217 peristiwa dan 329 tindakan pada tahun sebelumnya. Bahkan pada Mei 2025, seorang siswa SD di Riau menjadi korban kekerasan fisik karena perundungan berbau agama, terjadi di tengah kampanye toleransi yang sedang digencarkan negara.

Di tingkat elite, moralitas publik juga menghadapi krisis. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia naik dari 34 ke 37 pada 2024, namun para peneliti UGM menilai bahwa peningkatan ini lebih dipengaruhi revisi indikator global ketimbang peningkatan nyata dalam integritas birokrasi. Sementara itu, skandal korupsi tetap bermunculan: dari kasus pemerasan aparat dalam peristiwa rave Jakarta hingga korupsi Pertamina yang merugikan negara hampir Rp968 triliun pada 2025.

Membaca Lewat Lensa Teori Sosial

Dalam kerangka Antonio Gramsci, negara menjalankan kekuasaannya tidak hanya melalui hukum dan aparat, tetapi juga melalui hegemoni ideologis: membentuk cara berpikir dan nilai-nilai publik melalui pendidikan, agama, dan budaya. Di Indonesia, program-program moral negara dapat dilihat sebagai instrumen hegemonik untuk membentuk warga yang "moderate, loyal, and productive" dalam kerangka nasionalisme versi negara.

Namun Gramsci mengingatkan, hegemoni yang sukses adalah yang berakar dalam konsensus masyarakat. Ketika nilai-nilai yang diajarkan negara bertentangan dengan pengalaman sosial masyarakat, yang masih diwarnai diskriminasi, ketimpangan, dan kekerasan simbolik, maka upaya hegemonik akan gagal. Di sinilah relevansi konsep habitus dari Pierre Bourdieu: moralitas tidak dibentuk semata lewat ajaran, melainkan lewat struktur sosial yang tertanam dalam praktik sehari-hari. Jika struktur itu korup dan tidak adil, maka nilai-nilai yang ingin ditanamkan pun akan tereduksi menjadi simbol semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun