Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia gencar membumikan nilai-nilai kebangsaan dan keberagamaan melalui berbagai program moral dan ideologis. Mulai dari Moderasi Beragama (Kementerian Agama), Program Internalisasi Pancasila atau PIP (BPIP), Revolusi Mental (Kemenko PMK), hingga Penguatan Pendidikan Karakter atau PPK (Kemdikbudristek). Di tingkat lokal, program Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kampung Moderasi juga digulirkan sebagai upaya membentuk masyarakat yang toleran, religius, dan nasionalis.
Semua ini seolah lahir dari satu keprihatinan besar: bahwa "mental bangsa" sedang menghadapi krisis. Maka negara mengambil peran aktif, bahkan dominan, dalam membina moralitas publik. Namun di tengah intensitas pelatihan, seminar, dan kampanye publik yang menyertai program-program ini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana program moral negara benar-benar mengubah cara berpikir dan bertindak masyarakat, baik di tingkat akar rumput maupun elite birokrasi?
Moralitas yang Diajarkan vs. Realitas yang Dihadapi
Secara administratif, program-program ini tampak masif. Ribuan ASN, guru, penyuluh agama, hingga tokoh masyarakat telah mengikuti training of trainers (ToT) dan pelatihan nilai. Modul digital dan cetak disebarkan, jargon seperti "moderasi", "kebhinekaan", "etika publik", dan "karakter Pancasila" digaungkan.
Namun realitas sosial tidak selalu bersesuaian. Laporan Setara Institute (2024-2025) menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) justru meningkat. Dalam periode Januari–Desember 2024 saja, tercatat 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB, naik dari 217 peristiwa dan 329 tindakan pada tahun sebelumnya. Bahkan pada Mei 2025, seorang siswa SD di Riau menjadi korban kekerasan fisik karena perundungan berbau agama, terjadi di tengah kampanye toleransi yang sedang digencarkan negara.
Di tingkat elite, moralitas publik juga menghadapi krisis. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia naik dari 34 ke 37 pada 2024, namun para peneliti UGM menilai bahwa peningkatan ini lebih dipengaruhi revisi indikator global ketimbang peningkatan nyata dalam integritas birokrasi. Sementara itu, skandal korupsi tetap bermunculan: dari kasus pemerasan aparat dalam peristiwa rave Jakarta hingga korupsi Pertamina yang merugikan negara hampir Rp968 triliun pada 2025.
Membaca Lewat Lensa Teori Sosial
Dalam kerangka Antonio Gramsci, negara menjalankan kekuasaannya tidak hanya melalui hukum dan aparat, tetapi juga melalui hegemoni ideologis: membentuk cara berpikir dan nilai-nilai publik melalui pendidikan, agama, dan budaya. Di Indonesia, program-program moral negara dapat dilihat sebagai instrumen hegemonik untuk membentuk warga yang "moderate, loyal, and productive" dalam kerangka nasionalisme versi negara.
Namun Gramsci mengingatkan, hegemoni yang sukses adalah yang berakar dalam konsensus masyarakat. Ketika nilai-nilai yang diajarkan negara bertentangan dengan pengalaman sosial masyarakat, yang masih diwarnai diskriminasi, ketimpangan, dan kekerasan simbolik, maka upaya hegemonik akan gagal. Di sinilah relevansi konsep habitus dari Pierre Bourdieu: moralitas tidak dibentuk semata lewat ajaran, melainkan lewat struktur sosial yang tertanam dalam praktik sehari-hari. Jika struktur itu korup dan tidak adil, maka nilai-nilai yang ingin ditanamkan pun akan tereduksi menjadi simbol semata.
Moralitas yang Membumi, Bukan Seremonial
Program seperti Moderasi Beragama, PIP, atau PPK tentu tidak buruk. Banyak pendidik dan tokoh lokal telah menggunakan pendekatan ini untuk membangun ruang dialog dan memperkuat keberagaman. Namun ketika pelatihan moral dijalankan tanpa perubahan struktural yang mendukung, maka ia akan berhenti pada tataran administratif: seremonial, sertifikasi, dan laporan kegiatan.
Di sinilah negara perlu mengubah pendekatan: dari sekadar membina moral rakyat, menjadi mitra dalam membangun struktur sosial yang adil dan setara. Sebab moralitas hanya akan bertumbuh ketika masyarakat merasakannya sebagai pengalaman hidup, bukan hanya slogan di atas panggung.
Menuju Transformasi Sosial yang Etis
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, negara perlu mengintegrasikan reformasi struktural ke dalam setiap program moral. Tanpa keadilan sosial, tidak akan lahir nilai-nilai kolektif yang autentik. Kedua, desentralisasi moralitas, biarkan komunitas merumuskan sendiri nilai-nilainya dalam kerangka yang dialogis dan lokal. Ketiga, transparansi dan evaluasi kritis terhadap program moral perlu dibuka ke publik, agar negara bisa belajar dari kegagalannya, bukan hanya merayakan keberhasilannya.
Penutup
Moral bangsa tidak bisa dibentuk hanya melalui pelatihan, modul, dan jargon. Ia tumbuh dari kejujuran negara dalam menghadirkan keadilan, serta keberanian masyarakat untuk menolak nilai-nilai yang merusak kehidupan bersama. Jika negara serius ingin membentuk mental bangsa, maka ia harus memulai dari apa yang nyata, bukan hanya dari apa yang terdengar indah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI