Mohon tunggu...
Habirun Rahmat
Habirun Rahmat Mohon Tunggu... -

Assalamu alaikum wr.wb. Salam sejahtera bagi kita semua... Bermottokan sebuah lantunan kata sang pujangga, termotivasi oleh sebuah syair puisi romansa zaman kolonial berbobot kritikan, serta terpanggil oleh hasrat jiwa yang senantiasa ingin tahu sesuatu. sayapun hadir dan bergabung disini. hehehe...sok puitis namun tanpa makna mungkin itulah saya. saya bukan sastrawan apalagi politikus, tapi bukan juga seekor tikus kantor seperti para koruptor dibangsa nelangsa entah berantah ini loh. lalu siapakah saya, sayapun bingung. yang jelas saya adalah apa yang teman-teman saksikan hari ini, hanyalah sang pemimpi yang senantiasa berharap kelak mimpi itu menjadi kenyataan dan sang petualang yang menelusuri apa yang telah digariskan sang khalik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kesaksianku

26 Juni 2010   14:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:16 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya hingga hari ini aku bukanlah seorang anak yang tergolong jelata seperti yang sering aku jumpai disetiap sudut trotoar dikota ini, bukan pula seorang selebritis seperti yang sedang diperbincangkan mesum diberbagai infoteinment akhir-akhir ini, apalagi seorang politikus seperti mereka-mereka yang sibuk berkampanye dengan janji-janji politik yang sebenarnya sulit dicerna oleh akal beberapa waktu yang lalu. Aku masih memiliki hidupku dan idealisme diri yang seutuhnya sebagai seorang mahasiswa yang lebih senang berekspresi dan memberontak. Namun mungkin saja aku memanglah seorang yang penyendiri dalam hal merenungi pergolakan batin pribadi. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dalam lembaran-lembaran roman dan ensiklopedia. Bahkan jika tak ada lagi yang dapat kulakukan, aku sepertinya akan lebih memilih menatap langit-langit kamarku sambil meminta seraya berdoa kepada tuhanku dari pada berkumpul kongkow-kongkow dengan kalian semua. Sebenarnya aku benci dengan itu semua karna sejujurnya aku sangat mencintai indahnya sebuah kebersamaan. Aku berupaya sedapat mungkin untuk tersenyum ketika kalian melontarkan gurauan-gurauan aneh kalian. Cerita kalian tentang wanita cantik, uang, kekuasaan dan lain-lain yang sebenarnya hanyalah sekedar ilusi lelucon belaka itu bukanlah suatu hal yang menarik dan ingin ku tertawakan. Menurutku dagelan politik skandal Pansus Bank Century, kasus mafia pajak dan kondisi Pendidikan yang sangat memprihatinkan dibangsa ini seperti tempat dimana kita menimbah ilmu saat ini lebih menawarkan banyak lelucon yang menyegarkan, apalagi tugas tahap akhirku (SKRIPSI) tidak begitu membuatku pusing gumamku. Ataukah mungkin selera humorku yang sedikit berbeda dengan kalian.Terserahlah, toh aku akan tetap tertawa demi alasan menjaga solidaritas kita. Bukankah hidup kita juga dipenuhi sandiwara belaka. Maka aku pun memilih memerankan peranku saat ini sebagai seorang mahasiswa yang senantiasa harus tunduk terhadap segala kebijakan apapun yang dikeluarkan ditempat ini.

Aku tahu dengan pasti, bahwa kalian acapkali menangkap ekspresi bosan dan marah diwajahku. Tapi lebih sering kalian menarik kesimpulan, bahwa itu lebih karena aku memikirkan nasibku sendiri sebagai mahasiswa rantau yang berasal dari luar daerah yang perlu banyak beradaptasi dengan kondisi disini istilah kalian. Memang kenyataannya demikian, Meskipun sesungguhnya aku lebih jenuh dengan kehidupan dikampus kita saat ini, jenuh dengan kalian semua. Dan pastinya hal ini tidak mungkin akan aku ceritakan pada kalian. Bagaimanapun juga, kalian adalah teman terbaik yang kumiliki saat ini, walaupun sejujurnya kalian tidak pernah mau tahu dengan kehidupanku, dengan perasaanku, dengan berbagai hal yang aku pikirkan. Apa yang ada dipikiran kalian hanyalah sebuah fatamorgana kehidupan yang sejujurnya telah saya ketahui melalui karakter dan sifat kalian selama ini, bahwa individualislah yang akhirnya akan menang meskipun selama ini kita bersama-sama. Bolehkah ku katakan bahwa kalian semua ini hanyalah orang-orang yang pada akhirnya juga akan sama dengan para politikus yang rakus kekuasaan diatas sana, kalian ini hanyalah boneka para penguasa dikampus ini yang dengan mudah menyuap kalian lewat jatah beasiswa, kalian semua ini hanyalah korban dari kemajuan zaman dan teknologi masa kini. Selamat kepada budaya yang ditanamkan dikampus ini meskipun saya tahu bahwa itu sama sekali tak pernah diterapkan dilingkungan pendidikan yang katanya terdidik ini. Mungkin bila diibaratkan promosi begitulah karakter sebuah iklan yang senantiasa melebih-lebihkan dengan unsur yang sangat licik didalamnya karena sesungguhnya itu sangat kontras dengan kondisi yang senyatanya disini. Dan kemudian pikiranku mulai beranjak dengan berasumsi bahwa “ataukah mungkin kejujuran itu sudah sangat sulit untuk diterapkan dibangsa ini”.

Dan pagi ini pun nampaknya masih sama seperti pagi kemarin. Yang membedakan ialah kalau kemarin sempat berembun dengan hawa dingin yang sejuk, hari ini suasananya menjadi sedikit berbeda, sang mentari nampaknya muncul lebih cepat hari ini. Dan disinilah aku, berjalan menuju kampus dengan beban pikiran yang sama. Bukan beban ekonomi atau masalah keluarga apalagi masalah percintaan, sungguh yang aku pikirkan adalah keluhan sang bapak presiden dimedia massa semalam yang begitu menghentak batinku. Aku masih saja tidak mampu mencerna, betapa sosok seorang pemimpin bangsa begitu mudahnya mengeluh. Mengeluhkan sikap rakyat yang tidak berpihak padanya, yang sesungguhnya sekedar menuntut beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai kontras dengan janji-janjinya diawal pemilu. Bukankah itu semua adalah sesuatu yang wajar. Jika ada pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat, pemerintah seharusnya mampu menjadi penengah, bukannya justru menempatkan diri sebagai korban. Jika kenyataanya seperti ini, maka pada siapa lagi rakyat akan bersandar. Aku masih saja memikirkannya hingga dosen mata kuliah hari ini menyajikan materi ajarnya.

Ketika makan siang dikantin kampus, gadis kecil itu masuk dengan wajah ceria menghampiriku sembari menatapku dengan sangat hangat. Satu lagi tatapan perempuan masa kini pikirku. Ia lantas mengeluarkan sebuah selebaran browsur berwarna putih. Mungkin sebuah tawaran dari distro terkemuka yang memberikan diskon untuk beberapa produk terbarunya. Melihat pakaiannya saja aku hampir dapat memastikan semuanya. Kulitnya bersih, pakaiannya berwarna cerah, dan rambut lurusnya menampilkan beberapa helai warna merah pirang disela-sela warna hitam legam. Ia berbicara setengah berbisik padaku, seakan menyembunyikan sesuatu yang sangat rahasia. Sesuatu yang pastinya tidak akan mungkin membuatku tertarik. Sesuatu yang pastinya hanyalah hal remeh temeh dari brosur warna putihnya. Sekedar menjawab rasa penasaran dan demi mengormati tawarannya, aku pun melihat sebentar isi brosur tersebut. Humm...Sebuah brosur tentang ajakan melakukan aksi solidaritas ternyata. Sedikit rasa terkejut, melihat selebaran berisi hal penting seperti ini diberikan oleh anak ABG seperti dia.

Gadis ABG ini pun lantas menunjukkan mimik penuh harap seperti yang biasa ditunjukkan seorang SPG (Sales Promotion Girls) di Mall-Mall terdekat saat sedang menjajakan produk perusahaan tempat ia bekerja, "Ikutan yuk..." ujarnya dengan nada yang lebih berupa bujukan daripada semangat untuk memperjuangkan sesuatu. Hal yang sulit untuk ku percaya, "Ngapain..??!!" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari lisanku. Gadis ABG ini sekarang memelototiku, seakan pertanyaan itu tidak seharusnya ku tanyakan, "Mmmm.., Apakah Anda sama sekali tak bersimpati terhadap nasib bangsa sendiri,..." jawabnya sedikit tegas. Entah apa yang mendorongku, sebuah pertanyaan kembali meluncur begitu saja dari bibirku, Maaf...Dengan melakukan aksi ini manfaatnya apa buat kita, Apa yang akan kita dapatkan??? Ia lantas tersenyum, memandangku sangat dalam dan mulai memperkenalkan dirinya. "Maaf, saya Agnes (Nama Samaran), perwakilan dari FAM (Forum Advokasi Mahasiswa) se-Surabaya, saya bermaksud mengajak teman-teman untuk bergabung bersama aksi kami besok pagi, kalau teman-teman berminat dan ingin jawaban atas apa yang saudara tanyakan, sekiranya menyempatkan diri untuk mengikuti konsolidasi dikampus B Universitas Airlangga sore ini".

Masih belum menemukan motivasi yang tepat untuk turut berpartisipasi, akupun melanjutkan bertanya,"maksud saya kenapa kami harus mengikuti aksi ini...?". Dengan senyumnya yang ramah, ia mulai menjelaskan panjang lebar mengenai pergerakan ini. Ia mulai menjelaskan tentang bagaimana Bank Century telah menjadi bola salju yang menguji kredibilitas pemerintahan dan wakil rakyat republik ini. Aku hanya memperhatikan penjelasannya sekedar saja. Ia lantas mengemukakan bahwa kita sebagai rakyat seharusnya merasa menjadi korban karena pajak yang dipungut dari setiap bungkus mie rebus yang kita beli, justru digunakan untuk menyelamatkan kepentingan individu atau golongan tertentu paparnya. Ia meneruskan dengan posisi strategis mahasiswa yang sejak tahun enam puluhan telah menjadi martir perjuangan untuk membela kepentingan rakyat jelata. Aku mulai menyimak penjelasannya dengan sedikit rasa tertarik, ia kemudian melanjutkan lagi tentang cerita eksponen 66, aktivis Malari, pejuang reformasi 98, hingga saat ini. Ia semakin berapi-api ketika masuk pada berbagai indikasi kecurangan yang terjadi dalam proses Bail Out Bank Century, " Ini bukan semata-mata mengenai dana 6,7 trilyun rupiah yang dicuri dari kas negara kawan, melainkan ini merupakan ujian bagi moral para pemimpin bangsa ini. Dan tidak seharusnya ada upaya untuk menghalang-halangi upaya Pansus saat ini. Oleh karena itulah kita sebagai Mahasiswa yang katanya Agen of change, kaum intelektual muda, sudah selayaknya menempatkan diri pada barisan terdepan dan menunjukkan bahwa kita menunggu hasil dari semua upaya wakil rakyat dalam membuka kasus ini secara terang benderang", kemudian menutup semua orasinya dengan senyum tersungging kepadaku. Aku terhenyak, Aku terhenyak bukan karena doktrin yang disampaikannya, doktrin mengenai idealisme itu telah lama meracuni pikiranku melalui ide-ide yang disampaikan oleh roman-roman dan penderitaan rakyat yang banyak disampaikan oleh media massa. Aku terhenyak justru karena aku tidak menduga sama sekali bahwa gadis kecil ini ternyata memiliki pemikiran untuk memberontak yang begitu besar. Tidak seharusnya gumamku, karena dandanannya begitu modis untuk dikenakan oleh seseorang yang memiliki idealisme akut seperti dirinya. Aku sepertinya dapat merasakan bahwa apa yang disampaikan tulus dari lubuk hatinya, meskipun tersamar oleh senyumnya yang seakan tanpa beban itu. Namun meskipun demikian aku bukanlah orang yang mudah dipengaruhi oleh siapapun, sehingga sebuah pertanyaan sembari menasehati kembali meluncur dari bibirku pada gadis yang saya anggap masih mudah dipengaruhi oleh doktrin ini. Kawanku...sebagai seorang wanita sungguh saya sangat mengagumi sosok idealis didalam dirimu, namun apakah ada faktor lain yang membuatmu begitu tertarik dengan aksi semacam ini, kawanku...menyampaikan sebuah maksud itu banyak caranya bukan harus dengan jalan seperti ini dan sungguh akan sangat mulia jika kita melakukan segalanya berdasarkan ketukan hati nurani yang tersentuh. karena apabila ada unsur-unsur lain didalamnya itu sungguh sangat percuma keringat, teriakan, bahkan dihajar polisi dijalanan itu sangat tak ada gunax. Entah apa yang merasuki pikiran gadis cantik ini, tiba-tiba saja begitu jujur dan dengan nada sedikit sedih sembari berucap "kak...sungguh ini kami lakukan berdasarkan hati nurani yang tersentuh meskipun sejujurnya ada unsur politis didalamnya". Sungguh melihat kejujuran gadisi ini aku sedikit ibah sehingga akupun tidak tega menolak ajakan gadis cantik ini , toh ini bukanlah aksi unjuk rasa namun hanyalah aksi solidaritas gumamku, meskipun sejujurnya aku sangat tidak menyukai cara penyampaian maksud dengan cara seperti ini.

Maka pada siang hari yang terik ini, aku berdiri bersama mereka semua. Menjadi bagian yang bersatu padu menyuarakan penderitaan rakyat dan menuntut penuntasan skandal BANK Century. Sungguh sejujurnya tak pernah terbayangkan olehku akan berada pada barisan seperti ini, namun saya bukanlah orang yang pintar bersandiwara Karena setelah mengikuti sesi konsolidasi kemarin sore, masalah ini terus mempengaruhi mimpi indahku semalam. sehingga aku berada dalam barisan ini, murni dikarenakan oleh dorongan hati nurani. Bukan karena keberpihakan pada salah satu politkus yang kalah dalam pemilu seperti yang selama ini sering dituduhkan oleh mereka yang pro pada pemerintah. Tetapi lebih karena aku muak dengan semua kemunafikan yang terjadi didepan mataku, yang ditayangkan oleh berbagai Media massa. Aku tahu pasti bahwa untuk mendapatkan sebuah pekerjaan dibangsa ini, para pemuda-pemudi sarjana itu tetap saja harus antre mengambil formulir pendaftaran tes pegawai negeri sipil karena minimnya peluang, bahkan yang lebih ironisnya lagi ternyata untuk menjadi seorang PNS itu sungguh mahal ongkosnya seperti yang terjadi didaerahku beberapa waktu yang lalu. "orang yang berpotensi dan cerdas namun dari golongan simiskin itu diabaikan saja, sedang mereka yang berasal dari golongan makmur meskipun tidak berpotensi diutamakan karena kita butuh uang ucapan terimakasihnya yang berlipat, itulah prinsip pemeritah korup didaerahku" . Aku tahu pasti bahwa untuk mendapatkan sekantung daging, orang-orang miskin, tua muda bahkan anak kecil, harus sesak napasnya menunggu giliran. Dan pemerintah berkata bahwa perekonomian kita membaik dan pencapaian tercapai hahaha...Lucu

Kawan sesungguhnya untuk menyampaikan maksud itu banyak caranya, bukan harus turun kejalan kemudian anarkis dan sebagainya. Anarkisme itu bukanlah prinsip penyampaian maksud yang benar, tunjukanlah sosok mahasiswamu yang dikenal sebagai AGEN OF CHANGE, sebagai seorang kaum intelektual yang menyelesaikan masalah dengan intelektualitasnya dan kemudian bertindaklah berdasarkan ketukan hati kecil yang tergerak demi membela kaum tertindas. sungguh sangat memalukan menyaksikan mereka-mereka yang mengatasnamakan mahasiswa yang selalu turun kejalan-jalan dalam menyampaikan maksud namun anarkis, sungguh sangat memalukan mengatasnamakan mahasiswa indonesia namun tawuran sesama golongan mereka, sekampus, dan sedaerah dan itulah gambaran mahasiswa yang senantiasa bertindak karena faktor kepentingan tertentu demi sebuah kepuasan pribadi.

Dan semoga aku akan berada dalam setiap barisan seperti ini dalam kondisi yang terpanggil jiwanya,. Barisan yang meneriakkan seruan bagi pembaharuan, bagi pemerintahan yang bersih, bagi pendidikan yang terdidik, bagi perjuangan atas nasib rakyat jelata dan sebagainya.

Sesungguhnya saya tak menyukai fatamorgana kehidupan pendidikan seperti ini dibangsaku, Ayah-Bunda relakan darah juang anakmu.

"Terinspirasi dari catatan seorang teman dan kurevisi berdasarkan pengalaman pribadiku"
Surabaya, 21 mei 2010

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun