Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat muslim sedunia. Di bulan ini, berbagai jenis makanan tumpah ruah memenuhi jalanan, masjid, hingga ke rumah-rumah.
Seperti di sekitaran rumah saya, pada jam 3 sore, jalanan mulai ramai oleh para penjaja takjil. Di waktu maghrib, giliran masjid yang dipenuhi makanan berbuka hasil sumbangan para warga. Kembali ke rumah, perut diisi dengan makan berat. Lanjut tadarus selesai tarawih, ketika cemilan kembali disuguhkan.
Sayangnya, makanan yang berlimpah di momen Ramadan ini sering kali tidak dihabiskan dan berakhir menjadi sampah.
Ya, volume lambung kita ternyata tidak kuat menampung banyak makanan di waktu yang relatif singkat. Di sisi lain, kita terlalu "lapar mata" untuk tidak melirik makanan setelah puasa seharian.
Baca juga: Refleksi 21 Februari: Hari Peduli Sampah Nasional, Sudahkah Kita Peduli?
Fenomena Sampah Makanan di Indonesia
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti yang dilansir dari Antara (22/03/24), selama bulan puasa terjadi peningkatan 10 sampai 20 persen sampah sisa makanan.
Di Jakarta sendiri, menurut Parongpong Waste Management dalam ABC, terjadi peningkatan 200 ton sampah selama bulan Ramadan. Begitu juga di wilayah lain, seperti Banda Aceh yang mengalami peningkatan 13 ton per harinya di bulan Ramadan.
Padahal di luar Ramadan, Indonesia sudah menduduki sebagai salah satu negara penghasil sampah makanan terbanyak.
Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) yang bertajuk Food Waste Index Report 2024, menunjukan bahwa Indonesia menghasilkan 14,73 juta ton sampah makanan per tahun, sehingga menjadikannya sebagai penghasil sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara.
Sedangkan di dunia, Indonesia menempati urutan kedua setelah Arab Saudi sebagai penghasil sampah makanan terbanyak.