Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jati Kumoro di Mata Saya

23 Desember 2015   08:06 Diperbarui: 8 Mei 2022   10:44 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Jati Kumoro \ Facebook via Zaldy Chan

Kompasiana, 30 Januari 2015, pukul 16:47:09 WIB.

Ada sebuah teks pendek, artikel berciri memorial, yang berjudul Bapakku, Geertz dan Aku. Tulisan ini mengenang kisah seorang anak muda, mahasiswa di Yogyakarta, yang mengumpulkan karya-karya Geertz, antropolog besar asal Amerika Serikat. 

Antropolog Geertz menulis tentang Indonesia, khususnya masyarakat dan budaya di Jawa dan Bali. Usaha mengumpulkan karya-karya Geertz itu adalah permintaan ayahnya yang lebih menikmati karya antropolog lulusan Harvard ini dalam bahasa Inggris. Anak muda itu Jati Kumoro namanya.

Ada kemiripan masa lalu saya dengan anak muda ini kalau membicarakan mengumpulkan karya Geertz.

15 tahun lalu, Manado hanyalah sebuah kota pantai kecil dengan tiga lokasi keramaian. Pertama, Matahari Dept. Store—tempat dimana saya pertamakali mengenal eskalator, hihihi-- yang gedungnya kini menjadi rumah sakit Siloam Internasional, lalu pasar 45, pusat pedagang kaki lima khususnya untuk pakaian bekas impor, dan ruas jalan Boulevard yang terletak di pusat teluk Manado, lokasi pedagang kaki lima untuk kuliner.

Manado saat itu belum punya toko buku Gramedia. Seingat saya hanya ada toko buku Utama, yang terletak di wilayah Shopping, masih satu wilayah dengan pasar 45, lalu satu toko buku di wilayah jalan Sam Ratulangi (SamRat). 

Satu lagi toko buku yang menjual buku-buku rohani Kristen di dekat wilayah Ranotana, dan satu warung buku kecil di dalam kompleks pasar-terminal Ranotana, menjual buku terbitan Kanisius.

Perjumpaan mula-mula saya dengan karya Geerzt terjadi secara tidak sengaja di salah satu toko buku kecil di Manado. Sebuah jumpa yang sangat terlambat dan sarat keterbatasan.

Ketika itu saya sedang berada di toko buku Utama, toko buku kecil dengan kebanyakan buku bertema Islam. Di sebuah pojok, saya menemukan karya Geertz yang membahas kondisi masyarakat pertanian Jawa yang menanggung akibat sistem Tanam Paksa. Buku tipis itu bersampul warna hijau, berjudul Involusi Pertanian. 

Pertemuan ini kemudian membawa saya menemukan lagi Tafsir Kebudayaan Geertz lalu Agama dan Kebudayaan di toko buku kecil yang terletak di ruas jalan Samrat itu. Yang paling terakhir dan satu-satu yang tersisa dari Geertz adalah buku After the Fact dengan pengantar Ignas Kleden yang saya temukan di Ternate, Maluku Utara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun