Petarung, spirit yang tidak pernah ingin saya buktikan di Jakarta. Cukuplah saja bahwa saya pernah di sini pada suatu masa.
Hidup jelata di Jakarta adalah sisi dari diri Jakarta yang selalu menyesakkan. Identitas pinggiran dan kemiskinannya adalah satu perkara kompleks yang dilawannya setiap hari. Tidak terlalu penting dia berasal dari mana.
Namun masalahnya tidak berhenti di keterpinggiran dan kemiskinan itu.
Ketika ruang hidupnya menjadi panggung bagi pertunjukan "banality of evil": atau ketika orang-orang jelata yang baik terpaksa menjadi jahat karena hidup yang berat, berserakan, desak-desakan dan tidak jauh-jauh dari bertahan untuk makan. Mereka terpaksa "saling memangsa".
Saya pernah melihat langsung sesama supir bersiap baku hantam dengan besi panjang di sebuah metromini. Sebelumnya mereka kejar-kejaran dengan sengit. Saya adalah penumpang salah satu metromini yang nyaris celaka ini.
Saya tidak sendirian sore itu. Ada seorang pekerja dengan seragam Satpam, serta dua lagi penumpang, saya dan seorang teman.
Ketika salah satu dari kenek metromini itu hendak memukulkan besi ke lawannya, sayalah yang berteriak,"Bang, jangan main pukul dong."
Tapi kawan saya mencubit lengan saya."Gak usah ikut-ikutan. Nanti kamu yang kena masalah."
Kita berdua memilih diam dan mengabaikan seperti penumpang yang lain. Kita jelas tidak ingin membicarakannya. Dalam hati kita, di hari-hari yang lainnya, kita bahkan memilih membenar-benarkannya. Sudah begitu hukum hidup di ibukota, Bung.
Itulah mengapa kewarasan begitu mahal di hidup yang ter-megapolitanisasi. Kewarasan adalah obat kuat yang tidak selalu bisa dikonsumsi elite hingga jelata, dari orang-orang kaya hingga mereka yang sengsara.
Jakarta dengan dirinya adalah semesta yang diciptakan sejumlah kekayaan, kebijakan dan perburuan kenikmatan. Tapi tidak untuk semua golongan, bahkan sejak dibayangkan dalam proyek pemerintah kolonial.