Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada yang Maling Pakaian Dalam Wanita di Singapura?

2 Februari 2021   07:08 Diperbarui: 9 Februari 2021   13:52 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dreamstime.com

Masyarakat yang sehat tidak serta merta muncul dari pertumbuhan ekonomi tinggi, pusat-pusat konsumsi baru, gelembung kelas menengah yang hari senin ke kiri, sabtu ke kanan bersama elite yang sukses menjaga reproduksi tatanan ekonomi-politik di lingkarannya saja.

Termasuk juga dengan khotbah-khotbah moral yang gemar main vonis tanpa pernah masuk kedalam ruang batin mereka yang menjadi pelaku sekaligus penderita dari gangguan kejiwaan tertentu. Sama halnya daftar filsafat abstrak yang justru membuat rasa sakit makin terasing dari sejarahnya yang kongkrit. Maksud saya, inilah alasan mengapa psikolog diciptakan atau rumah sakit jiwa ditemukan, bukan?

Walau sesungguhnya kita lebih berharap adalah jauh lebih baik melihat lebih sedikit rumah sakit jiwa dan penjara dibangun ketimbang sebaliknya. Sebab menjadi manusia yang harus terus menerus mengakrabi dirinya sendiri adalah pekerjaan luar biasa. Pasalnya, selalu mengenali dan mengendalikan motif-motif terdalam yang kelam dan berbahaya bukanlah pekerjaan iblis dan malaikat. 

Ya, sudah, Segitu saja dulu. Berharap sepagi ini tidak menjumpai berita politik yang mendaurulang kegoblokan unfaedah, saya malah ketemu kabar yang berdiri di antara komedi tragis atau kengerian dari krisis diri. Absurd. Ini baru saja tanggal 2 Februari. 

Masih akan banyak kegoblokan unfaedah dari politik yang direpoduksi. Sama halnya dengan komedi tragis dari individu atau masyarakat yang sakit. Dimana aku dan kamu juga ada di dalamnya, berlomba-lomba tidak tumbang dimakan ambisi, kenaifan atau pemujaan pada citra-citra sesaat dan palsu.

Mungkin karena ini manusia harus setia menulis (termasuk diari, dong), mengenali diri. Sembari terus berlatih selalu luwes berjarak dari gairah massa yang memangsa apa saja lantas memuntahkannya dan dimakan lagi. Massa dalam social media yang tak bisa lagi dikenali dengan percakapan usang perihal moral dan rasionalitas. 

Tidakkah massa yang begini ini adalah wujud dari iblis supermodern ciptaan digitalisme politik. Mereka yang merayu-rayu di balik jempolmu sejak terjaga hingga tak tahu lagi nikmatnya sepi dan tak terhubung (disconnected). Celakanya, kamu berpikir dengan melenyapkan diri kedalam suara bising massa, kamu terlihat kekinian bahkan cerdas mengomentari politik.  

Tetap cinta bumi manusia. Selamat Pagi walau belum sarapan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun