Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencurigai "Orang Asing" di Kepala Sendiri

20 Januari 2021   22:48 Diperbarui: 22 Januari 2021   23:28 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: eapost.wordpress.com

Setiap orang berpotensi menjadi asing, tidak terlalu penting dari mana dia berasal. Masalahnya, apakah menjadi asing sama dengan merampas kemanusiaannya atau tidak?

Saya, misalnya. Ketika datang ke kampung halaman almarhum bapak, saya menjadi asing. Sebab saya memiliki kampung halaman yang berbeda. Saya tidak lahir di tempat dan ruang budaya yang sama dengan yang membesarkan bapak. Situasi yang sama juga terjadi manakala saya berpindah tempat merantau. 

Pertama kali tiba bumi "Toar Lumimuut", saya adalah orang asing dalam arti yang harafiah. Tidak mengerti bahasanya, tidak memahami kotanya, tidak mengerti budaya sehari-harinya. Kamu saja belum tentu tahu letak bumi "Toar Lumimuut" dimana. Jangan sok paling Pancasila, ah. 

Jadi antara menjadi asing atau tidak bukanlah sesuatu yang absolut, tetap dan mengangkangi sejarah. Sebab itu, titik problematisasinya tumbuh di sini. Pertanyaannya, mengapa menjadi asing dan pribumi hanya penting dalam relasi negara-bangsa. Di luar negara-bangsa, apa yang sejatinya dimaksud sebagai asing dan bukan asing itu?

Jika saja orang Amerika yang bikin heboh di Bali itu orang dari Jakarta Selatan, dia mungkin tidak menimbulkan geger dunia maya. Karena dia tidak berdiri di luar batas-batas yang mendefinisikan kita sebagai satu bangsa. Iya gak sih? 

Atau, lebih jauh lagi, relasi asing dan pribumi (atau WNA dan WNI) jelas berakar dalam asal-usul kolonialisme. Ketika Barat berjumpa dengan Timur lewat peperangan, penaklukan dan penghisapan. Tentu ada jalan perjunpaan yang lain walau hanya hadir sebagai peristiwa yang langka. 

Misalnya ketika subyek Barat dalam perjumpaan yang timpang itu, berubah menjadi suara dari Timur. Atau, Timur yang memilih jalur menjadi kaki tangan dari kuasa Barat yang menginjak-injak. 

Saya ingin membicarakan bentuk relasi pertama: relasi yang menaklukan dan mendisiplikan. Saya kira di dalam relasi seperti itu, menjadi asing atau di-asing-kan atau ter-asing-kan adalah perkara yang bukan semata kata sifat atau kata kerja biasa; netral. Jauh dari fungsi bahasa yang demikian, yang dimaknai sebagai asing berkelindan dengan ideologi politik tertentu. 

Ideologi politik yang secara sepihak, naif bahkan sarat mitologis, melihat relasi manusia dalam sistem rasial, kasta atau kelas tertentu. Misalnya saja, Barat lebih luhur daripada Timur (yang asing). Barat adalah penemu jalan kemajuan, pembawa panji-panji pencerahan. Ada optimisme yang tidak dimiliki Timur.

Optimisme seperti itu tidak sepenuhnya cacat, sama tidak sepenuhnya patut. Sebab, sesuatu yang asing itu justru karena tidak dikenali. Karena Timur yang berbeda, menyimpan misteri (dan kekayaan) dan menimbulkan rasa penasaran sekaligus kekhawatiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun