Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Libur Sederhana Saya: Mengunjungi Angan yang Jadi Kenyataan

30 Oktober 2020   06:35 Diperbarui: 6 November 2020   16:46 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompleks Kecil Pertanian| Dokumentasi Pribadi.

Tapi, saya tahu, teman yang satu ini tidak mudah berhenti. Ia pembelajar yang tekun dan-yang paling top-tidak suka publikasi. 

Sesudah petak-petak itu panen perdana, ia memulai lagi siklus kedua. Kali ini, ia telah memiliki sumber bibit sendiri. Selain ada biaya yang dikurangi, ia pun telah mengumpulkan pengalaman dari siklus pertama. Saya masih ada di sana dengan fungsi yang sama: mendengarkan rencana-rencananya. Seperti orang sekolahan dengan nasibnya.

Dia juga menanam yang lain di lokasi berbeda. Dia ingin mencoba semua yang bisa memberikan sumber-sumber baru penghidupan. Mungkin juga semacam usaha untuk keluar dari penjara nostalgia zaman kayu dan mengurangi ketergantungan pada ambisi sistem produksi serba-kimiawi. Apalagi sejak kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, larangan membakar terbit dengan peringatan yang lebih keras. 

Saya kira, sampai hari ini dia telah berhasil menyusun langkah awal dengan baik dalam menulis sejarah baru pemuda dari tepian sungai. 

Saya, Juventini yang sedang memanen kacang panjang | Dokumentasi Pribadi
Saya, Juventini yang sedang memanen kacang panjang | Dokumentasi Pribadi
"Setidaknya, sekarang saya mengurangi konsumsi sayur dari kebun orang lain," katanya bersemangat.

Lantas, takdir sekolah membawa saya harus pergi ke Bumi Sriwijaya. Setahun di sana. Setahun sisanya dikurung pandemi di rumah. Baru menjelang akhir September 2020, saya disuruh kembali ke DAS Katingan. Buli ka Lewu! Saya gembira. Ini seperti pulang kampung saja.

Jadi kemarin sore, saya pergi ke kebunnya. Ini sudah kunjungan ketiga. Seperti biasa, saya datang selain memandang sekitar, mendengar kisah, mengambil gambar. Dan menuliskan ceritanya untukmu, iyaa, kamuu yang kelamaan dimakan kota-kota.   

Sekarang tanah di hilir desa ini bukan lagi deretan petak. Dua tahun sebelum kemarin itu, telah disusunnya menjadi sebuah kompleks pertanian skala kecil. Dia memang tidak lagi menanam sayur-sayuran seperti sebelum pandemi mengunci manusia di dalam rumah dan lebih waspada terhadap tubuh sendiri. 

Di tanah hilir ini, ia telah membangun rumah walet dari hasil menabung bertahun lama. Kotorannya adalah bahan untuk campuran pupuk organik. Ia juga membuat kolam kecil dan pagar paranet keliling sebagai tempat bermain belasan bebek dan itik. Lalu sebuah petak kecil untuk jagung yang mulai bertunas dan sayur kacang panjang. Ada satu baris untuk sayur kangkung di antara itu.  Foto di atas itu adalah penampakan faktualnya.

Belum lama ini, katanya, ada beberapa petani dari desa tetangga yang dilatihnya membuat bokasi. Mereka memang bagian dari jejaring.   

Sebuah rumah panggung dengan teras menghadap kebun itu dibangun di sampingnya. Rumah ini seperti pos pengawas. Tapi saya kira, ini juga rumah untuk menyepi. Tempat menyusun rencana-rencana tanpa banyak diketahui. Teman saya ini masih tidak suka terpublikasi. Ia selalu betah bekerja dengan senyap. Biar yang begini ini menjadi bagian saya saja, hihihi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun