Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Gentlemen", Menikmati (Lagi) Komedi Kriminal ala Guy Ritchie

21 Februari 2020   22:06 Diperbarui: 22 Februari 2020   17:00 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film The Gentlemen (2019) | STX Entertainment

There’s only one rule in this jungle! When the lion is hungry, he eats! - Mickey Pearson

The Gentlemen akan mengingatkan pada cerita Lock, Stock and Two Smoking Barrels. 

Film bergenre komedi kriminal itu dirilis tahun 1998 di mana juga menandai debut Guy Ritchie sebagai sutradara film layar lebar. 

Film ini juga mengenalkan Jason Statham dan Vinnie Jones kepada audiens internasional. Film ini juga adalah debutan yang sukses secara komersil. Menghabiskan dana 1,8 juta dolar AS, film ini berhasil meraup pendapatan 28, 1 juta dolar AS. 

Kini, The Gentlemen yang telah mendapat rating 8,1 di situs Internet Movie Database, boleh jadi dinikmati sebagai kerinduan akan film kriminal dengan komedi khas sutradara kelahiran Hertfordshire, Inggris.

Walau begitu, saya tidak sedang membandingkan dua film, di mana mantan suami Madonna ini juga bertindak sebagai penulis naskah. Selain itu, dalam batas tertentu, saya memang lebih suka sentuhan Ritchie dalam dua sekuel Sherlock Holmes ( 2009 dan 2011) serta King Arthur: Legend of The Sword (2017).

Saya kira, di dua karakter legendaris itu, kita bisa melihat Sherlock Holmes dan raja Arthur dengan lebih segar. 

Kerja penyutradaraan Guy Ritchie membuatnya keluar dari pakem yang selama ini tertanam lewat cerita atau film yang telah berusaha menafsirkannya. 

Sang detektif tidak semata jenius ilmiah dalam membongkar kejahatan sistematis, namun juga mahir beladiri. Sedangkan sosok Arthur yang berdiri di antara mitos dan legenda itu, ditampilkan lebih inline dengan narasi politik perlawanan ala gerakan sosial kekinian.

Karena itu, mari kita bicarakan The Gentlemen yang baru saya saksikan di jaringan bioskop CGV siang tadi sebagai komedi kriminal yang berhasil. 

Dengan kata lain, catatan ini berjuang untuk menunjukan kekuatan penopangnya. Penopang yang menjadikannya menghibur sebagai komedi sembari menjaga kompleksitas alur cerita tidak membosankan atau terasa buru-buru tiba pada ending. 

Perlu juga disadari sejak awal, walau menampilkan adegan kekerasan, The Gentlemen bukan jenis film kriminal yang merawat atensi penontonnya dengan brutalisme yang intens; brutalisme gaya Tarantino, misalnya.

Apa saja kekuatan penopangnya?

Pertama, kompleksitas dan kekuatan dialog. 

The Gentlemen, bagi saya, tidak tersentralisasi pada bagaimana Mickey Pearson menjaga kerajaan bisnisnya di tengah serangan musuh-musuhnya. 

Mula-mula, Mickey Pearson ingin dimengerti sebagai simbolisasi dari usaha manusia mencapai puncak kekayaan dan kuasa serta keberlangsungan aliansi yang menopangnya. Sesudahnya, ia lebih mirip sebagai arena, medan, atau ruang di mana motif, kehendak, konflik, kerjasama, krisis dan kehancuran berkelindan. Rumit.

Pelukisannya begini. Untuk menjaga imperium bisnis ganjanya, Pearson merawat aliansinya dengan barisan aristokrat yang hanya bisa hidup dari warisan. 

Mereka memiliki perkebunan yang luas dan kastil yang membutuhkan biaya perawatan. Belum lagi biaya hidup, dll, dkk-nya. Pearson menjadi pemodal dengan imbal balik "konsensi hitam". Ia boleh menanam ganja di bawah tanah dari kebun-kebun itu. 

Keamanan bisnis seperti ini terganggu karena dia berencana menjualnya kepada Matthew Berger, seorang kriminal papan atas. Ternyata, Berger memiliki motif penguasaan yang berbeda. Ia ingin mengambil itu tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Lantas, Berger memilih membangun aliansi tandingan diam-diam dengan Dry Eye, wakil gengster Tiongkok. 

Dry Eye yang lebih muda ini memiliki ambisi yang lebih ekstrim lagi: memiliki kebun ganja sekaligus menjadi tuan baru dengan menyingkirkan semua rintangan Pearson serta Berger. Ini sumbu konflik di level atas gengster. 

Ketegangan menjadi lebih seru dan kompleks karena terlibatnya kelompok-kelompok kecil yang berdiri di luar arena main utama. 

Kelompok pertama adalah Big Dave yang bekerja sebagai editor di tabloid Daily Print. Dave menggunakan investigator swasta untuk mengungkap kejahatan Pearson karena tersinggung tidak dijabati tangannya dalam sebuah pertemuan aristokrat. Si investigator, Fletcher justru menegoisasikan kepentingannya sendiri. Hasil investigasinya digunakan untuk memeras Pearson. 

Kelompok kedua adalah gerombolan atlit MMA yang pergi ke kebun bawah tanah Pearson, menghajar karyawannya, membuat video lantas membawa pulang ganjanya. Pelatih mereka yang menyadari marabahaya besar bakal menimpa mereka segera pergi meminta maaf kepada Pearson dengan kompensasi menjadi kaki tangan taktis.

Kelompok malang lainnya yang terjebak dalam konflik adalah remaja pecandu heroin di mana salah satunya adalah anak perempuan dari aristokrat yang menjadi rekan aliansi Pearson. 

Si bos kemudian menugaskan Raymond untuk membawa pulang si anak gadis. Celakanya, ketika menjemput si gadis, ada remaja Rusia anak  seorang gengser yang mati karena terjatuh dari balkon. 

Bagaimana semua orang yang mewakili dunia masing-masing, motif-motif dan siasatnya bisa bergabung dalam dinamika konflik dan ketegangan yang rapi adalah kredit tersendiri bagi sinematografinya. 

Di dalamnya, kita menikmati alur yang tertata dan terkekeh-kekeh melihat sikap jurnalis naif (seperti milik Dave dan Fletcher) atau kekonyolan atlit Mixed Martial Arts (MMA) yang mendadak "tumpul tajinya" manakala mengetahui berurusan dengan siapa. 

Kedua, komedi dan kejutan. 

Komedi yang bekerja dalam film ini, rasanya, lebih dibentuk oleh cara pandang yang salah terhadap situasi. Tindakan konyol atau mengenaskan hanyalah konsekuensi belaka. Seperti orang-orang malang di dalam situasi yang salah namun dihadapinya dengan percaya diri tingkat dewa. 

Karena itu juga, terlihat seperti kebetulan-kebetulan yang tak bisa dihindari.

Misalnya, seperti yang dialami oleh grup MMA. Hanya bermodal jago beladiri, mereka lantas pergi menyerbu kebun Pearson. Juga Matthew Berger yang menyangka sedang mengendalikan situasi dengan menumpang pada ambisi Dry Eye, ternyata sedang menggali kubur. Celakanya, kerjasama yang berantakan antara Berger dan Dry Eye justru dibongkar oleh Fletcher. 

Fletcher, kenaifan lain yang menyangka Pearson sedang di titik nadir, mengisahkan pertemuan Berger dan Dry Eye kepada Raymond. Sedang Big Dave yang penuh keinginan menghancurkan Pearson dengan hasil investigasi, ternyata berakhir tragis di tangan gerombolan atlit MMA yang harus memperbaiki kesalahannya karena menyerbu kebun ganja Mickey Pearson.


Ketiga,nama tenar dan kualitas. 

Film berdurasi 113 menit ini diisi oleh nama-nama yang sudah tenar dan memberi jaminan mutu. Kebanyakan juga sudah sering bekerja bareng Guy Ritchie. Ada Matthew David McConaughey yang memerankan sosok utama, Mickey Pearson. 

Pearson adalah lulusan Oxford yang sejak mahasiswa telah membangun jaringan bisnis mariyuana. Kemudian Charles Matthew Hunnam yang bermain sebagai Raymond Smith, tangan kanan Pearson. Raymond juga seorang pengawal yang handal. Ingatlah jika Charles Hunnam adalah sosok yang berhasil memainkan karakter raja Arthur. 

Selanjutnya, ada aktor kawakan, Hugh Grant yang memainkan karakter Fletcher, seorang investigator swasta yang digunakan Big Dave (diperankan Eddie Marsan). 

Dave adalah editor yang memiliki reputasi membongkar skandal kaum aristokrat. Ada juga Collin Farrel yang berperan sebagai Pelatih yang membina sebuah sasana MMA. 

Lalu ada Henry Ewan Golding, aktor Inggris kelahiran Malaysia yang berperan sebagai Dry Eye. Henry Golding mulai tenar karena perannya sebagai Nick Young di Crazy Rich Asians. Terakhir, Michelle Suzanne Dockery yang memainkan karakter Rosalind Pearson, istri Mickey. Rosalind adalah istri yang sangat dicintai Mickey. 

Sepanjang yang saya nikmati, nama-nama tenar ini berhasil menghidupkan karakter yang kuat. Semuanya tampil dengan penjiwaan yang hidup dan terhindar dari kesan mengada-ada. Khusus terhadap lakon yang dimainkan Charles Matthew Hunnam dan Hugh Grant, saya kira, tampil menonjol sepanjang film sebagai keterwakilan dua dialog yang menuntun jalannya cerita dan menyelipkan kejutan-kejutan.

Happy ending.

Pada akhirnya semua adalah tentang kuasa gengster yang solid di hadapan kehendak-kehendak yang konyol lagi naif. Mickey Pearson adalah singa di depan domba yang menyangka diri harimau.  

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun