Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Perihal Juventus yang Lemah Gemulai Itu!

27 Januari 2020   12:56 Diperbarui: 28 Januari 2020   09:15 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam laga melawan Napoli, Bonucci menyebut ia dan kawan-kawannya bermain dengan pergerakan bola yang lambat. (Foto: via juventus.com)

We have to keep going like this, think of Napoli 24 hours a day! - Gennaro Gattuso, pelatih Napoli sesudah mengalahkan Juventus 

Juventus menyingkirkan Roma dari Coppa Italia dengan cara yang pragmatik. Bermain tidak menarik dan memaksimalkan counter attack.

Tapi subuh tadi, mereka tidak berhasil melakukan cara yang sama: bermain tidak menarik dan menang. 

Juventus memang terlihat tidak ingin berada dalam tekanan, terdominasi walau datang sebagai tamu. Kehendak ini tercermin dari perbandingan possession. Juve 49%, Napoli sisanya. 

Bahkan, jika melihat tembakan ke gawang, keduanya mengumpulkan akumulasi yang sama, 4:4. Demikian statistik dari Whoscored.

Sayang, dengan cara begini saja tidak cukup. Bonucci, dkk hanya bisa membalas satu gol sebelum bubar.

Selama pertandingan, ada umpan pendek yang bekerja. Tapi, tidak banyak potensi mengkonversi gol, ini hanya jadi semacam latihan. Sementara Napoli bermain dengan covering area tingkat tinggi. 

Dalam analisis sang kapten Bonucci, ia dan kawan-kawannya bermain dengan pergerakan bola yang lambat. Bermain seperti ini membuat musuh mudah membaca umpan dan covering. Dengan kata lain, ini sama artinya dengan gagal mengelola hal yang mendasar dalam sepak bola: timing. Demikian Bonucci yang pernah membela Milan di bawah asuhan Gattuso.

Kegagalan seperti ini hanyalah aspek teknis. Termasuk bahwa gol Insigne adalah risiko yang harus dihadapi ketika bermain dengan zonal marking. Kita mahfum, apa yang secara teknis bermasalah tidak terlepas dari problem mentalitas dan pendekatan terhadap permainan.

Pada problem mentalitas, misalnya. 

Kegagalan mengelola timing dengan pergerakan bola yang lamban merefleksikan situasi mental. Mentalitas yang selalu memberikan segalanya di lapangan. Bagi Bonucci, mereka hanya bermain dengan 99%. Intinya, jangan pernah bermain di tanpa totalitas. Kurang sedikit saja, Anda selesai! 

Pun pendapat dari penemu Sarri-ball. Analisis yang mirip keluar dari mantan bankir ini. 

"Kita bermain pasif sepanjang pertandingan, berpikir kita bisa bermain dengan tempo yang lambat, mengambil lima sentuhan, selalu berjarak di antara area, sangat lemah gemulai."

Sarri memang tidak pernah meremehkan klub yang melambungkan namanya ini. Pada konferensi pers sebelum pertandingan, ia sudah mengatakan itu. Maka mari katakan saja jika Juventus subuh tadi adalah kolektivitas dengan level yang instabil. Tim dengan permainan tanpa hasrat. Padahal sudah Old Lady, duh.

Sebaliknya, kondisi begitu adalah ideal bagi Napoli. Napoli dengan transisi pasca-Ancelotti yang terpuruk. 

Gattuso dan pasukannya jelas sedang berjuang menemukan epic comeback. Gatusso, sang "Anjing Perang", bukanlah tipe yang setengah-setengah di lapangan. Spirit miliknya ini yang sejatinya berbahaya. 

Lantas, apakah dengan kemenangan ini, Napoli akan berangsur-angsur kembali pada jalur yang semestinya? Menemukan apa yang sedang ditunjukan Conte di Inter Milan atau ketika mengembalikan Juventus kepada trahnya? Sebagai penganggu garis keras dari ambisi-ambisi Juventus.

Pertanyaan ini bukan saja membutuhkan waktu, pembuktian dan bagaimana Gattuso berkembang dalam masa kepelatihan bersama Napoli. 

Yang jelas, serupa apakah "Mentalitas Anjing Perang" itu, saya pernah menulisnya di Milan Era Gattuso, Kembalinya Mentalitas "Dog of War?"


Dengan kekalahan subuh tadi, apa yang semestinya dipercakap dari Juventus yang disebut Sarri bermain lemah gemulai? 

Seperti judul besar media massa, Juve gagal menjauh dari Inter yang lagi-lagi bermain imbang dengan Cagliari? Inter yang paling agresif membangun kedalaman skuad di tangan duet yang sukses memulihkan Juventus. Duet Antonio Conte dan Guiseppe Moratta.

Walau, agresivitas transfer itu bagi Conte karena, "Tim ini secara garis besar kekurangan pengalaman, dan tidak memiliki bahan yang tepat untuk memenangkan setiap pertandingan yang ada."  

((KEKURANGAN PENGALAMAN DAN BAHAN YANG TEPAT))

Saya kira, akan lebih baik melihat bagaimana instabilitas La Vecchia Signora itu sebagai kembalinya tegangan kompetisi dimana pemenangnya akan ditentukan di partai pamuncak Serie A. Tidak ada lagi yang unstoppable.

Mungkin jawaban di atas akan terlihat sebagai dalih bagi keraguan terhadap Sarriball dalam membentuk sejarah baru Juventus. 

Juventus yang lebih menyerang, atraktif dan karena itu menghibur dengan kemenangan-kemenangan yang "estetik". Perlahan-lahan dan stabil menemukan cangkang baru identitas tim. 

Dalam bahasa yang lain, sebagai Juventini dengan tafsir sekena-kenanya ini, Mister Sarri adalah opsi yang tanggung dalam halaman pertama Era Baru Juventus. Juventus sudah harus menawarkan proyek ambisius dan menarik paksa Jurgen Klopp! Hahaha.   

Poinnya adalah situasi buruk yang menimpa Juventus selalu akan menjadi titik balik. 

Mereka yang berhimpun di dalamnya akan selalu mengembalikan totalitas yang redup subuh tadi. Saat bersamaan, energi demikian pun diperluas dalam jati diri Inter Milan atau Napoli, Roma atau Lazio. Termasuk Sampdoria, Atlanta atau AC Parma (yang pernah memiliki Buffon, Thuram, Canavarro, Crespo, Chiesa dan Veron). 

Pelan-pelan, mereka akan saling menguji diri siapa yang pantas berada di deretan Terunggul. Berjuang saling mengalahkan. 

So, kita mungkin akan melihat liga yang sengit seperti beberapa tahun ke belakang. Melihat lagi perburuan juara sepak bola yang tidak dikutuk dalam persaingan (politik) dua kasta seperti di Spanyol. Atau "The Big Four" gaya Britania. Kita melihat lagi sebuah daya tarik yang kembali ke posisinya. 

Tapi, masalahnya industri sepak bola adalah bisnis yang juga stabil di luar lapangan. 

Lantas, siapa yang sejajar dengan Juventus di ruang ini di tingkat domestik? 

Laporan Deloitte Football Money League 2020 menempatkan Juventus di posisi ke-10 klub terkaya dunia. Kedatangan Ronaldo memang disebut sebagai daya tarik komersil yang tidak terbantahkan lagi. Namun, posisi 10 itu dalam klasmen yang dibuat Money League bukanlah baru ini. 

Juventus sudah masuk 10 besar klub sepakbola terkaya dunia sejak musim 2015. Nilai pendapatannya saat itu 324 juta euro. Sedang untuk tahun 2019, pendapatan tahun Nyonya Tua naik menjadi 460 juta euro. 

Juventus dikatakan sukses mengelola kerjasama sponsorship, terutama dengan Adidas dan Jeep. Selain itu, Juventus sedang memperluas pasar di Asia. Juventus juga merambah bisnis perhotelan, tidak melulu berdagang merchandise.

Di laporan itu, memang ada nama Inter Milan (14), AS Roma (16) dan Napoli (20) yang mewakili Italia. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari klub-klub Inggris. Ada 13 wakil klub Inggris dari 20 klub yang di-rangking. 

Kondisi yang mencerminkan mengapa EPL kini adalah pusat dari putaran uang industri sepak bola dunia. Walau posisi ini tidak berbanding lurus dengan prestasi di puncak Champions League. 

Kekayaan memang adalah ukuran yang menjaga stabilitas kehidupan klub untuk masa yang panjang.  Termasuk menyiapkan sumberdaya terbaik untuk menegaskan dominasi di posisi paling puncak, seperti Real Madrid dan Barcelona. Sejauh ini. 

Jadi, perihal apa yang ingin dipercakapkan dari Juventus yang tadi subuh tampil gemulai itu?

Jalan masih panjang.

***
Sumber yang diacu dalam artikel ini adalah Football Italia, Bola.net dan Whoscored.com. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun