Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Narasi "Gundala", Problem Representasi dan Politik Progresif

9 September 2019   20:10 Diperbarui: 10 September 2019   14:29 3499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Gundala (2019) | The Jakarta Post

Saya harus pergi dua kali ke bioskop untuk menyaksikan Gundala. Sesuatu sekali.. 

Pertama, ini bentuk perayaan atas produksi film pahlawan super yang berangkat dari karya-karya dalam negeri walaupun belum membaca Gundala dalam edisi komik karya Harya Suraminata.

Maka dari itu, sebenarnya ada yang hilang atau terputus dari imajinasi saya. Atau justru dalam posisi nol begini, saya malah "terselamatkan" karena tidak menyimpan nostalgia dari komiknya. 

Saya bisa lebih bebas "mengembangkan tafsir".

Selanjutnya, dorongan kedua yang mengharuskan saya ke bioskop khusus demi Gundala (saya tidak pernah melakukan ini sebelumnya) karena kegemaran melihat motif-motif psikis dan daya dorong sosologi politik dari kemunculan seorang pahlawan super.

Tegas kata, menduga-duga konsepsi seperti apa yang bekerja ketika sesosok pahlawan super dikonstruksi lewat media sinematik. 

Gundala, di tangan Joko Anwar, memiliki konsepsi yang mewakili keingintahuan saya. Maka saya memang pergi dua kali, duduk di deret paling belakang dan terdiam selama 123 menit. 

Saya cukup puas dengan nuansa kelam yang dihadirkan pada kehidupan pabrik, kota dan anak jalanan serta kontras antara kehidupan jelata sengsara (yang mempertahankan pasar) dengan segelintir politisi (yang mengendalikan produksi regulasi bagi manusia banyak) juga musik latar yang memberi efek ketegangan lumayan maksimal. Pun dengan adegan kelahi-kelahi yang lebih mulus.

Selain itu, terutama bagaimana dunia yang kejam dikonstruksi dari kacamata Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan). Saya sukses merasakan kegetiran yang tidak seharusnya ditanggung seorang anak. Muzakki membuat Sancaka kecil berjuang tidak hancur ketika kasih sayang keluarga harus diabaikannya. 

Hidup yang keras dalam nasib Sancaka ternyata berhubungan dengan sistem-sistem yang tidak manusiawi, seperti ketidakadilan dalam pabrik dan kehidupan jalanan yang saling memangsa. 

Demikian juga dengan Pengkor. Kekayaan milik orangtuanya bekerja seperti kutukan saja. Ia harus kehilangan kasih sayang keluarga karena ayahnya difitnah dan terbunuh bersama ibunya dalam amuk massa pekebun karet. Pengkor tumbuh dengan dendam terhadap dunia yang menistakan anak-anak yatim. 

Saya kira, dengan pelukisan asal-usul Gundala dan Pengkor, penonton dibawa untuk melihat jejak-jejak kebaikan atau kejahatan yang berakar dari masa anak-anak yang terlanjur menanggung nasib yang tak cukup kasih sayang keluarga. 

Ini juga semacam peringatan kepada orang-orang dewasa untuk selalu bekerja keras menghadirkan dunia yang lebih baik. Dunia yang lebih memekarkan kemanusiaan anak-anak sejak dini. Dunia yang penuh kasih sayang dan cinta pada sesama.

Tapi, meninggalkan dunia anak-anak Sancaka dan Pengkor yang getir, bagian besar yang menarik bagi saya adalah bagaimana melihat posisi Gundala dalam apa yang disebut dalam politik progresif sebagai "problem representasi" dari kekuasaan. 

Atau, mungkin yang disebut dengan, krisis atau setidaknya disfungsi dari sistem parlementarisme. Parlementarisme yang mudah dikendalikan oleh kuasa oligarki. 


Gundala, Problem Representasi dan Politik Perlawanan 
Gundala atau Sancaka dibentuk oleh akar psiko-sosial yang kelam dan tragis. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang menjelaskannya.

Yang pertama, tentulah, karakter kelas pekerja yang aktif dalam perjuangan menegakkan hak-haknya. Bukan jenis kelas pekerja yang berada di barisan belakang apalagi golongan yang memilih jalur aman. Ayahnya bahkan harus menjadi tumbal dari perlawanan ini. 

Yang kedua, kehidupan anak jalanan yang harus dipilih sesudah kemiskinan memaksa ibunya harus pergi jauh dari rumah. Jalanan dan keseharian yang keras menempa Sancaka kecil terlatih dengan kondisi-kondisi ekstrem, termasuk kerja keras, kelaparan dan kekerasan. 

Karena itu juga, ketika film Gundala dimulai dari aksi demonstrasi buruh, gairah emansipasi yang terbayang pada sosok ini adalah kehadirannya yang  mewakili suara kelas bawah. Jelata sengsara yang bertahan hidup dalam sistem yang dehumanistik.

Maksud saya, raison d'etre Gundala atau motif struktural dari ke-superhero-an dirinya lebih realistis ketimbang Batman, misalnya. Batman, yang merupakan pewaris tunggal kekayaan dinasti Wayne, adalah ekspresi yang "idealistik kalau bukan utopik".

Dalam versi yang digarap Chistopher Nolan hingga Trilogi, Bruce Wayne memang dilukiskan sarat dengan trauma, rasa sakit dan kemarahan. Tapi dia tetaplah seorang kaya, ganteng, memiliki akses pada teknologi tinggi dan dikelilingi orang kepercayaan yang hebat. 

Ketika Bane atau Joker berusaha mengajukan anarki (baca: sistem tanpa negara dan oligarki pengaturnya), Batman tampak seperti wakil dari borjuasi yang baik hati dan ingin menyelamatkan dunia. Batman adalah simpul terakhir yang memastikan bahwa Rust en Orde kapitalisme harus tetap ada.

Dengan kata lain, ketika kita membicarakan superhero dan basis representasinya, Gundala adalah subyek yang dilahirkan dari kondisi-kondisi penderitaan kelasnya. Batman tidak, setakterhitung apapun kebaikan-kebaikan sosial yang diwariskan oleh visi dan kekayaan ayahnya.

Gundala hanya tidak mengorganisasi orang-orang kecil ini, tidak mengadopsi jalan Bane dengan membentuk pasukan kecil terlatih dan membebaskan para narapidana yang menjadi sasaran dari Hukum Dent. 

Lantas, apa konsekuensi dari penglihatan yang memosisikan Gundala dalam kategori-kategori yang terbaca familiar dengan teori-teori perlawanan rakyat; semacam Social Movement Theory ini?

Dalam hemat terbatas saya, posisi Gundala yang memiliki representasi langsung dengan kelas bawah adalah bentuk penegasan lain ketika kita melihat padanan sistem politik yang memelihara dehumanisasi itu. Khususnya dengan keberadaan anggota legislatif yang berada dalam kontrol oligark bernama Pengkor. 

Pengkor, sebagaimana Sancaka kecil, sama dibentuk dari kondisi-kondisi ekstrem yang berbahaya bagi anak-anak. Bedanya, Pengkor mewarisi kekayaan dari ayahnya yang seorang pengusaha karet.

Pengkor memiliki dendam pada dunia yang merampas kebahagiaannya. Sejak kecil, Pengkor telah terlatih mengorganisasi perlawanan secara kolektif. Pengkor, sebenarnya, jauh lebih baik dari Gundala dalam urusan perlawanan terorganisasi, hehehe.

Dus, kita jadi melihat dua kehendak yang berhadapan di tengah buruknya sistem kuasa. Atau dua kehendak yang berusaha merebut sistem kuasa agar tetap hadir sebagai pelayan kemanusiaan atau sebaliknya, berkuasa dari tumbal-tumbal kemanusiaan. Gundala, sekali lagi, menjadi realistis sekaligus politis. 

Dengan kata lain, kepahlawanan super milik Gundala, rasa-rasanya, hadir sebagai agency yang ingin mengembalikan kekuasaan dalam mandatnya yang tidak boleh lepas dari pelayanan atas kemanusiaan dan keadilan.

Sebuah cita-cita yang kini tampak seperti absurditas paska-kolonial. Boleh juga dikata untuk sementara ini, Gundala adalah interupsi dari mereka yang tak dihitung oleh demokrasi (dalam istilah Ranciere) yang menggugat kontrol oligarki.  

Dengan konsepsi "politik perlawanan" yang seperti ini, Joko Anwar membuat kita begitu dekat dengan Gundala. Begitu familiar dengan maniak seperti Pengkor dan orang-orang berdasi yang menyebut diri wakil rakyat namun melayani kekuasaan yang anti-rakyat. 

Karena itu, Gundala terlihat begitu akrab: menggambarkan politik sehari-hari di negeri bekas koloni +62 sekaligus menampilkan gambar yang tidak sederhana dari representasi politik yang pelik.

Oleh karena itu juga, barangkali masih membutuhkan intervensi yang tidak cuma Gundala. Apalagi ketika musuh yang dibangkitkan dari masa lalu (Jawa) oleh Ghazul sudah memroklamirkan perang.

Etapi, yang masih jadi pertanyaan saya, mengapa ibu Sancaka tidak ke Barat atau Timur, Utara, atau Selatan tapi Tenggara? Ada apa di Tenggara sana?

***

Gundala: Working Class Superhero Is Something To Be! adalah ulasan tentang film Gundala yang juga saya pertimbangkan sebelum menulis catatan ini. Ulasan yang dikerjakan Faisal Irfan itu bisa dibaca di Tirto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun