Dari itu semua, tidak ada yang segemerlap Premier League. Khususnya dalam tiga musim terakhir.
Selain dihuni para bintang dengan klub yang memiliki tradisi yang kuat, dan fanatisme fans yang bergenerasi, para pelatih world class pun berdiam di sini. Mulai dari nama-nama kawakan seperti Ferguson, Wenger, van Gaal, Scolari, Hiddink, Ranieri, Ancelotti atau Benitez hingga generasi ahli taktik zaman kiwari seperti Guardiola, Mourinho, Conte, Jurgen Klopp hingga Pocchetino.
Kita tahu, empat nama pertama adalah jaminan prestasi melihat apa yang telah dicapai. Setidaknya, mereka boleh membuat tim menjadi kompetitif. Selain itu, ada faktor berlatar kebudayaan/filosofi sepak bola yang berbeda. Ada yang membawa visi tiki=taka, ada yang mengusung pragmatisme counter-attack, ada yang menerapkan pressing tinggi dan serangan balik cepat, ada yang memainkan sepak bola dengan kolektivisme yang gemar adu speed.
Dari itu semua, kepada Inggris, saya berharap bisa melihat sebuah sintesis yang bukan saja memperkaya tradisi "Kick and Rush" atau ada yang menyebutnya "Long Ball". Akan tetapi membuatnya menjadi satu "mazhab baru" yang membuat ketar-ketir lawan, sebagaimana milik Spanyol, Brazil atau Jerman. Termasuk model defensif Italia yang melelahkan itu.
Pelatih terakhir yang disebut masih menerapkan gaya umpan operan panjang ini adalah van Gaal. Saat itu Pildun 2014, Belanda berhasil menghancurkan Spanyol 5:1. Dalam pertandingan tersebut, van Persie menciptakan gol "Superman" yang indah itu. Gol sundulan yang sambil menerbangkan diri yang memanfaatkan umpan lambung Blind dari sisi kiri.
Sebenarnya gaya sepak bola yang gemar atau dominan bermain umpan panjang (berulang-ulang) bersama adu lari serta ketahanan fisik dalam duel sudah lama hilang dari cara bermain Three Lions. Tentu saja, sudah banyak modifikasi dari sentuhan berbeda oleh pelatih. Salah satu perbedaan itu bisa dilihat pada saat Inggris di piala dunia yang melawan Italia.
Saat itu, di bawah asuhan Roy Hodgson, Inggris merupakan kombinasi antara angkatan tua-muda. Inggris bermain lebih sering dengan umpan pendek dan pergerakan yang cepat. Walau kalah kalah 2:1, Hodgson telah mewarikan kombinasi tua-muda yang juga dipertahankan Gareth Southgate di pildun Rusia. Kombinasi seperti ini tentulah bukan semata menjaga stabilitas antara pengalaman dan daya dobrak baru. Namun juga, untuk pemain yang terdidik oleh liga Inggris yang menghimpun ahli taktik terbaik di dunia, diharapkan ada sintesis dari semua pendekatan bermain.
Drama yang Dimenangkan..
Persisnya, dengan melihat rekam jejak anak-anak Three Lions di klub, mereka adalah para pemain yang tidak dibiasakan dengan "Long Ball Philosophy". Ada Stones, Walker dan Sterling yang terbiasa dengan tiki-taka. Anderson dengan gegenpressing. Kane dengan kecepatan dan eksplosivitas ala Spurs, serta Lingard arau Rushford dengan dribbling yang aktraktif, sekedar menyebut beberapa nama. Inilah gen baru sepak bola Britania.
Singkat kata, sudah seharusnya mereka melaju lebih jauh. Namun Kolombia tadi pagi membuat Inggris bukanlah kehadiran yang patut dicemaskan. Semencemaskan Perancis, Brazil dan Belgia--celaka, keduanya bertemu sebelum final!-- yang memiliki kemampuan bermain cepat dan efektif. Selain itu, juga ada kuda hitam, Kroasia.
Inggris memiliki senjata di udara. Para pemain jatuh di kotak penalti. Mereka berduel dan kemudian jatuh. Ini menyakitkan. Anda harus berusaha dan menempatkan diri di posisi pemain. Mereka tunduk pada situasi yang seharusnya tidak ada dalam sepakbola - Jose Pekerman (Goal.com)