Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kekalahan Milan, Pergulatan Mentalitas, dan Momen Transisi

11 Mei 2018   11:11 Diperbarui: 12 Mei 2018   05:35 2509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

When we talk about Juve we talk about a great club, with great history, that is used to winning and continues to stay with a great mentality - (Genaro Gattuso, dalam konferensi pers sebelum final Coppa Italia; Juventus.com)

Cukup dimengerti ketika Don Carlo Ancelotti dan Ruud Gullit memberi dukungan bagi Milan dalam partai pamungkas Coppa Italia, Rabu dini hari waktu Indonesia. Ajang yang terakhir kali dijuarai Milan pada musim 2002-2003. 

Dukungan agar tidak memberi kesempatan La Vecchia Signora meraih gelar ke 13 sekaligus memecahkan rekor 4 kali juara pada ajang yang mulai sejak tahun 1922 ini secara beruntun. Termasuk dari seorang Pirlo, sosok yang dihormati oleh fans dua klub. Bagi Pirlo, Gattuso adalah pilihan yang boleh dititipi harapan. Katanya seperti dilansir bola sport.com, "Dia kembali memberi jiwa pada AC Milan, memberi mereka semangat tim dan membuat tim bermain dengan sangat baik. Banyak pujian untuknya dan saya berharap malam ini dia bisa mewujudkan mimpinya untuk mengangkat piala."

Sebagai Juventini, saya mula-mula berada dalam dukungan seperti ini. Bahkan, saya berharap Napoli bisa juara musim ini sehingga memberi tahun yang gagal total bagi skuad asuhan Allegri. Sudah 6 musim dan 3 Coppa Italia dibawa pulang tanpa ada satu piala Champions bukanlah pencapaian yang menghapus kerinduan akan Juara Eropa. Tetapi...

Mentalitas

Melihat sorot mata Super Buffon yang menyala-nyala dalam senyuman kala memasuki stadion Olimpico lantas melihat ekspresi Leo Bonucci yang tanpa senyum, saya kira Milan tidak akan banyak berbuat. Paling jauh, memaksakan adu penalti demi uji keberuntungan. Buffon telah memenangkan "psy war" menjelang laga yang disebut Gattuso selayaknya Piala Dunia bagi Milan.

Mengapa ekspresi Bonucci dan Buffon boleh menjadi isyarat jika Milan akan kembali tersungkur?

Keduanya adalah el capitano. Pada diri mereka hidup ideal, hidup sebuah tipe, sebuah contoh. Seorang kapten diharapkan menjadi pemimpin yang boleh melakukan, setidaknya dua fungsi dasar. Pertama, mengkoordinasikan permainan serta, kedua, menjaga motivasi tetap di level "berjuang sampai akhir". Di dalamnya, pelatih berharap semua rencana berjalan sesuai arahan. 

Dua dari tiga gol yang bersumber dari "bola mati" yang menghancurkan dukungan Don Carlo, Gullit hingga Pirlo menggambarkan bahwa sistem bertahan di bawah komando Bonucci masih rentan kacau. Disempurnakan oleh "pertunjukan horor Donnarumma", Milan kembali gagal memutus hasil buruk dalam 6 pertemuan dimana hanya bisa sekali seri. Sisanya keok.  

Gol pertama Medhi Benatia adalah contoh dari lolosnya pengawalan. Sementara gol dari sepakan Douglas Costa dan gol kedua Benatia adalah contoh dari buruknya tangkapan Donnarumma. Tangkapan buruk yang disebut "pertunjukan horor": tiga gol terjadi hanya dalam interval menit 56 ke 64 alias 8 menit saja. Kiper yang disebut-sebut paling terdepan sebagai suksesor Buffon ternyata anak muda yang mudah gugup di partai pamuncak. Di pertarungan dimana banyak harapan berseru-seru agar Milan memutus takdir buruk lewat tangan Gattuso.

Tentu saja ini bukan salah Donnarumma semata. Gattuso telah menyadari dan memberi peringatan.  

Gattuso bilang, "We have to do two things: not give Juve anything, as with the quality of their players they will punish you, then we have to play our game courageously. Juve is a team full of champions, but they too have some defects, it will be a good game we can't wait to get going and we hope that we won't make the same mistakes as we did in the last 15 minutes in Turin."

Dan Bonucci, dkk gagal menerapkan dua kehendak yang diinginkan Gattuso: jangan beri ruang alias jangan menciptakan kesalahan yang sama serta bermainlah dengan berani. Hanya di paruh pertama, Milan boleh konsisten. 10 menit dari babak kedua, Juventus mulai menghukum mereka hingga berakhir dengan mengenaskan. 4:0. 

Karena itu juga, wajar menduga jika Milan yang datang ke ibukota masilah pasien pengidap Inferior Mentality. Mereka serasa sudah duluan kalah terhadap perasaan gugup di depan penguasa 6 musim bertutur-turut. Perasaan gugup yang selalu menjangkiti jiwa kerdil dan bermuara pada inkonsistensi yang akut. 

Akan tetapi kita tahu jika kondisi ini adalah faktualitas yang partikular. Bukan khas AC MIlan semata. Ia juga hidup dalam ruang batin Inter dan Roma.

Mengelola Momen Transisi

Tanpa bermaksud membesar-besarkan sejarah--yaiyalah, sudah besar dengan sendirinya!-- juara 7 musim beruntun dengan 4 Coppa Italia adalah penegasan jika kemampuan bersaing di level atas memang hanya milik Juventus. Sejarah yang seperti ini tidak dicapai oleh skuad yang sama. Juventus kehilangan elemen inti, kedatangan pemain-pemain baru yang bukan dari kumpulan World Class dan harus melewati transisi secara benar. 

Bahkan sempat terseok-seok di awal musim dan dijuduli macam-macam prediksi yang pada akhirnya adalah pepesan kosong. Coach Max Allegri membuktikan jika dalam dirinya, hidup maestro taktik yang juga ahli mengelola transisi. Seorang yang ahli menerapkan prinsip memelihara hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus.

Hal-hal lama yang masih bagus itu hidup dalam sosok seperti Buffon, Chiellini, Barzagli, Benatia hingga Rugani. Termasuk dalam diri Asamoah, Lichtsteiner, Alex Sandro juga Cuadrado dan Khedira. Lantas Mandzukic, Higuain dan Dybala. Sementara hal-hal baru yang lebih bagus akhirnya muncul dari Douglas Costa dan Matuidi, yang sering masuk dalam starting eleven.

Keseimbangan dinamik sedemikianlah yang menjadi tantangan bagi seorang Gattuso dan manajemen klub secara umum. 

Dia baru datang sebagai suksesor keterpurukan warisan Montella, yang kembali dipecat manajemen Sevilla. Gattuso mengasuh skuad dengan dominasi anak-anak muda dari pembelian yang jor-joran namun tanpa bintang. Pembelian yang malah dinyinyiri oleh si mantan, Berlusconi.

Situasi seperti ini pernah juga dikritik Xavi Hernandez, sang legenda Barcelona. Ketika sosok semisal Paulinho yang hanya bermain di liga level Chinese Super League dibeli Barcelona, pemain yang memberikan delapan gelar juara La Liga dan empat titel Liga Champions mengatakan, "Dulu takkan ada pernyataan 'pemain ini akan cocok di Barcelona' karena para pemain itu sudah ada di sana. Mereka sudah merekrut pemain yang tidak cocok dengan gaya bermainnya."

Atensi dari kritik Xavi memang terhubung dengan kebijakan transfer manajemen yang memalingkan muka dari potensi akademi sendiri. Akademi yang terbukti melahirkan kelas dunia serupa Xavi, Pique, Fabregas, Iniesta hingga sang Alien: Messi. Walau begitu, capaian yang diberikan Ernesto Valverde di musim ini bukanlah hasil buruk seorang suksesor. Barca tetap bermain operan-operan indah dengan intensitas yang mungkin tak sebergairah era Pep Guardiola. Intensitas ala tiqui taca yang sebenarnya sudah mulai berkurang di tangan Luis Enrique, bukan?  

Sebab itu juga, dalam situasi Milan, saya kira asal terus diberi kepercayaan, Gattuso akan kembali melahirkan tim yang bikin deg-degan musuh. Pirlo hanyalah salah satu yang sudah memberi kesimpulan terhadap kinerja lelaki bermental "Anjing Perang" lapangan hijau ini. Gattuso sejak awal tahu jika skuadnya miskin DNA Milan. Elemen koentji yang akan memutasi kualitas teknik ke dalam sistem bermain "yang pantang pulang sebelum padam".

Karenanya, karena syarat-syaratnya belum dipenuhi, maka kekalahan pada Rabu dini hari itu memang harus terjadi. Wajar. Namun ada satu yang patut dihargai dari Gattuso adalah tidak meniru cara bereaksi Maurizio Sarri. Sarri yang adalah coach tim bernama Napoli, yang hangat-hangat telek ayam di depan ujian konsistensi. 

Sesudah kalah telak dari Fiorentina, Sarri berkomentar begini ihwal dominasi Juventus. "Kami beresiko kehilangan banyak penggemar, karena mereka mendukung tim yang tak akan pernah menang." Lho?! Urusan klean laah. Tak perlu bawa-bawa fans tim lain yang sama mediokernya.

Saya tiba-tiba ingat sabda Eric Cantona tentang psikologi fans dengan klub sepak bola. Bilang Cantona, Kau boleh ganti istri atau agamamu, tapi tidak klub sepak bola-mu! Fans yang gak begini, hanyalah pemuja jenis abal-abal dan alai-alai: mudah galau dan pindah hati. Dekat dengan pikiran konspiratif juga rasanya, uups.  

Pernyataan Sarri itu seperti melempar kotoran ke wajah Maradona.   

#FinoAllaFine #ForzaJuventus #4azaBianconeri

***

Sumber lain yang dirujuk 1, 2 dan 3 serta 4.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun