Seorang pejuang berulang tersungkur dengan hati pecah, memuntahkan segala yang menahan dari kekacauan dirinya sendiri. Ia harus membereskan penggal kehancuran itu dengan segala kesabaran yang masih.
Di bawah fajar bertiang jejak abu yang kukuh, dia melukisulang riwayat kekacauan yang memaksa harus gagu berbulan-bulan. Hening. Sebab terus mencari mengapa ketika orang-orang sabar harus menelan ironi berkali-kali sedang mereka yang celaka terus memiliki kesempatan menyempurnakan kebengisannya, memaafkan harus selalu di-ada-kan?
Kata-kata sakti yang diwarisi dari masa suram atau ketika para pecinta masih berkeliling membawa khotbah tidak pernah benar-benar bekerja ketika pintu keluar sesudah memaafkan adalah melupakan.
Memaafkan-melupakan, mungkin sepasang kerelaan mendamaikan elegi yang hendak menjadi kitab para pendendam. Entah untuk melepaskan sebuah era atau terus meyakini sejenis kemungkinan yang selalu didekati kesangsian.
Seorang pejuang akan menikmati pelukisan ulang semua pertanyaannya tentang ironi orang-orang baik. Entah untuk memilih sejenis kemungkinan. Atau mengabaikan bahwa setiap yang dilahirkan dari melupakan hanyalah daftar tunggu kemenangan orang-orang jahat.
Pertaruhan melupakan adalah mengisi hidup sesudah kemalangan dengan ingatan-ingatan baru untuk masa lalu. Andai pun nanti kemungkinan itu tidak menuliskan dirinya yang baru, maka jejak hitamnya harus diterima dengan sekali lagi memaafkan. Seorang pejuang adalah seorang kekasih, dia yang harus selalu mampu terlahir kembali.
Apakah yang lebih berjuang dari melupakan?
Jawabnya hanya tersedia pada diri yang mengakhiri romantika hari kemarin. Tanpa pernah mati sebagai kekasih.
2017
***