Dear Admins,
Selamat pagi, semoga menempuh akhir pekan yang membahagiakan!
Gini Min’s, sa mo ngeluh. Ngeluh yang tulus, bukan jenis modus.
Mimin sekalian pasti su tahu, su baca atau mendengar. Mungkin juga su mengalami sendiri.
Belakangan ini, sesudah kemegahan 8 Oktober, Kompasiana belum lagi pulih. Kadang bisa komen, tra bisa vote. Kadang sebaliknya. Terus yang sekarang bikin sa sesak nafas, berulang kali log in, berulang kali diabaikan. Sa pernah habiskan waktu sekitar 4 jam hanya sekedar bisa log in demi posting puisi Sarung. Tadi malam, sekitar 2 jam bersabar bisa log in demi Vonny Cornellya bisa tampil di Kompasiana.
Ini bukan pengalaman sa seorang. Pakde Bamset juga alami, Mba Mike sama kesalnya tra bisa log in. Belum lagi yang mo masuk di kanal Fiksi. Silahkan simak keluah kesah ini di facebook deh kalo kam tra percaya.
Sa juga sudah tempuh prosedur bersihkan riwayat googling dan lain-lainnya itu. Ulang-ulang kali pula, masih sama saja: gagal log in. Adoh, Min’s, hati sakit sampeee, macam ungkap cinta yang berkarat dalam dasar hati baru bertahun lamanya langsung ditolak dengan kata-kata, Ih, ko tra bercermin ka?!
Mama eeeee.
Sebenarnya bisa saja pindah blog. Sekarang sudah ramai dengan yang sejenis Kompasiana.
Yang agak serius bisa ke Qureta atau GeoTimes-nya Farid Gaban. Atau ke Inspirasi, ke blog yang dibuat Tempo juga. Atau sekalian ke Mojok yang cerdas mempromosikan genre menulis humor bersenyawa kritik khas warga biasa. Mereka memiliki gaya yang beda-beda dan menggoda.
Tapi Kompasiana bukan museum yang menampung  jejak riwayat lantas ditinggal sepi tak bersaksi. Ada ikat emosional yang merawat interaksi digital. Semacam persaudaraan yang terbentuk dan bertahan dalam dialog tulisan juga komentar-komentar. Persaudaraan yang sering saling support tulisan lewat vote dan komen.