Mohon tunggu...
Turyanto Sanmukmin
Turyanto Sanmukmin Mohon Tunggu... -

Pewarta. Broadcaster. Suka mengikuti kabar ekonomi, humaniora, olah raga, dan kebijakan publik. Soal politik? Hanya tuntutan pekerjaan yang membuat harus selalu tahu.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Program Pemerataan Korupsi

24 Oktober 2012   12:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:27 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351081340481059870

Ini adalah penggalan dari program bantuan pemerintah yang menyasar ke desa.  Ada masyarakat yang sukses mengadopsi gaya korupsi beberapa pejabat, tanpa merasa salah, tanpa merasa takut, melahap hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri.

Sebenarnya, praktik korupsi ala kampung, sudah lazim saya dengar sedari kecil. Orang jujur di kampung itu, kadang terkucil. Saya, masih ingat saat masih SMP waktu itu. Ibu dan bapak adalah bendahara kelompok tani.

Kedua orang tua saya ini, terbilang kreatif dan memiliki ide bagus untuk mengembangkan usaha kelompok. Padahal, semula kelompok yang dibentuk hanya bermodal iuran beras 500 gram per rumah. Ya, semacam arisan, untuk menyiapkan musim paceklik, saat panen gagal, atau kemarau tiba. Namun, dari setengah kaleng beras itu, kelompok makin maju. Dari beras, bisa beralih ke gabah kering giling. Tak lagi hanya hitungan kilogram, setiap panen, hasil iuran gabah dari anggota bisa mencapai berton-ton. Gabah inilah yang akhirnya menjadi kekuatan ekonomi bagi anggota kelompok. Hingga menjadi dana taktis bagi warga yang memiliki kebutuhan mendesak. Di saat sakit, tak ada uang, sampai mau menikahkan anak, tapi tidak cukup modal, anggota kelompok banyak yang datang ke rumah. Pinjam gabah untuk dijual. Dengan perhitungan tertentu, nanti di saat panen, utang ini akan dibayar. Bisa dicicil atau lunas. Sebagai bendahara kelompok, bapak dan ibu, memiliki otoritas penuh terhadap arus modal. Termasuk, mau diputar menjadi apa modal itu. Hingga tercetuslah ide, membuat berbagai jasa penyewaan. Mulai dari piring, gelas, sendok, hingga berbagai alat untuk memandikan jenazah. Kelompok pun kian jaya, hingga dibuatlah nama, "Suka Maju". Bagi anggota, hadirnya alat-alat ini, pastinya cukup membantu. Karena setiap memakai hanya dikenakan iuran untuk uang kas. Nilai kurang dari Rp10.000 saat itu. Saya masih ingat ada yang membayar Rp500,-…Rp1.000,-…Rp1.500,-…hingga Rp10.000,-. Maklum di kampung itu, hajatan luar biasa. Ada bayi lahir, pinjam piring. Bangun rumah, pinjam gelas. Mau yaasinan, pinjam sendok. Yah, semua sarat dengan semangat gotong royong. Indah kalau diingat….!!! Namun, rupanya, majunya "Suka Maju" tak membuat semua orang suka. Ada anggota yang menabur iri. Dengki ia tularkan ke anggota lain. Hingga 'malam jahanam' itu tiba. Rumah kedatangan banyak orang. Lebih dari 20 orang. Semua laki-laki. Tidak hanya dari anggota kelompok Suka Maju. Tapi, ada tetangga sebelah bertitel pamong desa. Mereka menggeruduk rumah, saat saya mau terlelap. Dari suara sopan, lama-lama nada tinggi terdengar. Ada yang menggebrak meja. Rupanya, mereka ini menuduh bapak dan ibu telah menelan uang kas kelompok. Memakai uang kelompok untuk kepentingan pribadi. Saat itu, sekitar bulan Oktober 1992. Ibu, waktu itu tengah mengadung adik saya, usia kandungannya tujuh bulan lebih. Tuduhan ini, jelas menyakitkan. Bapak dan ibu selama ini berusaha untuk berbuat yang terbaik mengelola kekayaan kelompok. Menganakpinakannya hingga beraset puluhan juta saat itu. Ibu sampai menangis. Tersakiti oleh kawan sendiri. Ia tahu, siapa dalangnya. Penghutang kelompok yang sulit membayar. Lagi…lagi…meminta pinjaman. Tapi, lagi…lagi…demi kelancaran modal kelompok, orang tua saya menahan. Ibu akhirnya memilih mengalah….Malam itu, ia pun mundur dari jabatan bendahara. Ayah juga. Para penuntut puas. Sejak kejadian itu, semua aset kelompok yang ada di rumah diangkut. Bapak dan Ibu menarik diri…. Naif, posisi bapak dan ibu digantikan oleh orang yang sama sekali tak pernah terdaftar menjadi anggota kelompok. **** 20 tahun peristiwa itu berlalu. Tepat hari ini. Ya, saya masih mencatatnya…. Suka Maju hingga kini masih ada. Isinya pun masih orang-orang lama.  Namun, seiring pergantian rezim, kelompok tak lagi tergantung pada dana swadaya. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, kelompok berbasis warga tani itu, banyak kebanjiran order proyek pemerintah. Bahkan sudah jadi pemain di level gabungan kelompok tani (Gapoktan). Setiap musim tanam, ada bantuan subsidi benih, subsidi pupuk, alat dan mesin pertanian, hingga proyek dari Kementerian Pertanian lain, seperti SP3A, PUAP, LMA, dst…semua dana ini terserap oleh kelompok. Tapi, apakah dana-dana ini berhasil mengangkat kesejahteraan anggota kelompok, yang semuanya petani itu? Sayang, rupanya tidak! Warga tani di desa saya, tetap masih begitu-begitu saja. Tak ada kemajuan berarti. Dalam sebuah obrolan, Ibu pernah bilang, jika dana-dana bantuan tersebut, masuk ke kantong para pengurus. Saya hanya tersenyum ketika mendengar cerita ini. Takut terjebak fitnah. Menuduh tanpa dasar. Namun, saya benar-benar terkejut, saat berbincang langsung dengan bapak-bapak, pengurus kelompok. Saat saya tanya, bagaimana memanfaatkan dana bantuan, dengan ringannya ada yang menjawab, "Duit segitu yang kita makan masih kecil. Lha itu…Nazaruddin…Angelina Sondakh…Gayus….korupsinya miliaran!???" Wah…wah…rupanya ada pemerataan korupsi sampai pelosok desa. Anehnya lagi, tak ada demo, tak ada lagi pengadilan kampung, laiknya yang dialami bapak dan ibu, meski kali ini faktanya nyata. Anggota kelompok seperti mafhum, membiarkan hak mereka dimakan oleh orang rakus. Bahaya….bahaya…saat orang desa tak takut untuk mini korupsi, lalu lingkungannya pun menganggap biasa. [[!]]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun