Opini oleh:Â
Aditya Pratama Putra Mahasiswa Universitas Indonesia
juara 2 lomba menulis opini online "Suaramu, Karyamu" pada Pemuka Fest Agustus 2025
"The test of our progress is not whether we add more to the abundance of those who have much, it is whether we provide enough for those who have too little."Â --- Franklin D. RooseveltÂ
Di negeri agraris yang tanahnya subur dan hasil buminya melimpah, profesi petani justru kehilangan daya tarik di mata generasi muda. Anak-anak muda lebih akrab dengan algoritma dan layar sentuh dibanding cangkul dan benih. Padahal, ketika dunia dilanda krisis pangan, kita seharusnya bisa berdiri tegak karena lahan dan tangan milik kita sendiri. Namun faktanya, regenerasi petani nyaris terhenti. Jika bukan kita yang bertani, lantas siapa lagi?Â
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjawab tantangan ekonomi nasional melalui delapan agenda besar yang dikenal sebagai Asta Cita. Fokus utama pada poin kedua dan ketiga menjadi peta jalan menuju Indonesia yang tangguh dan mandiri. Asta Cita 2 menyerukan penguatan pertahanan nasional 2 yang tak hanya bersenjata, tetapi juga berswasembada pangan, energi, air, serta mendorong tumbuhnya ekonomi hijau, biru, dan kreatif. Sementara itu, Asta Cita 3 menekankan penciptaan lapangan kerja berkualitas melalui kewirausahaan dan pengembangan industri sebagai poros utama pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan (Kementerian Sekretariat Negara RI, 2024).Â
Namun, benar saja di tengah desain ambisius dua cita utama tersebut, sektor pertanian sebagai salah satu pilar utama swasembada dan kedaulatan pangan nasional justru menghadapi krisis regenerasi. Data BPS 2023 terkait sebaran petani berdasarkan generasi menunjukkan bahwa hanya 2,14% dari petani berasal dari Generasi Z dan 25,61% dari kalangan milenial, jauh tertinggal dibanding Generasi X yang mendominasi sebesar 42,39%. Kecilnya partisipasi generasi muda-mudi ini mengindikasikan ketimpangan usia yang serius dalam struktur pelaku pertanian Indonesia. Sementara itu, kebutuhan akan regenerasi dan modernisasi sektor pertanian sangat penting agar tidak hanya berdaulat dari sisi produksi, tetapi juga menarik dari sisi profesi, terutama bagi generasi muda.Â
Kondisi ini semakin diperparah dengan profil ketenagakerjaan pemuda yang ditunjukkan oleh data BPS (2020). Sebanyak 28% dari pemuda usia 20--24 tahun menganggur, dan mayoritas dari mereka, sekitar 58,52% berada di wilayah perdesaan. Sebagian besar dari kelompok ini memiliki ijazah pendidikan menengah (61,9%), tetapi belum mampu terserap oleh sektor formal maupun informal secara optimal. Mereka menghadapi hambatan struktural dalam mengakses pekerjaan produktif, padahal potensi mereka dalam mengembangkan sektor berbasis inovasi dan teknologi salah satunya pertanian sangat besar jika difasilitasi secara tepat.Â