Konsep taman literasi sendiri kini tengah digalakkan di banyak sekolah. Tujuannya sederhana: menghadirkan ruang terbuka yang mengundang siswa untuk membaca dan mengekspresikan diri. Alih-alih hanya mengandalkan perpustakaan formal, taman literasi diharapkan menjadi titik temu antara pengetahuan dan rekreasi.
Bagi siswa, keberadaan taman literasi memberikan pengalaman belajar berbeda. Mereka bisa membaca di bawah pohon rindang, mendiskusikan buku bersama teman, atau sekadar menikmati suasana sambil dikelilingi karya seni yang mereka hasilkan sendiri.
“Kalau belajar di luar kelas lebih menyenangkan. Kita bisa membaca sambil duduk santai, tidak tegang seperti di dalam kelas,” ujar salah satu siswi yang tengah menunggu cat di capingnya kering.
Menanam Nilai dalam Proses
Lebih dari hasil akhir berupa taman literasi yang indah, nilai utama dari kegiatan ini sesungguhnya terletak pada prosesnya. Guru dan siswa bekerja sama tanpa sekat, sama-sama memegang kuas, sama-sama terkena cipratan cat, sama-sama merasakan lelah sekaligus bahagia.
Di sana, tercermin nilai gotong royong yang semakin jarang ditemui dalam kehidupan modern. Siswa belajar bahwa menciptakan sesuatu yang bermanfaat membutuhkan usaha bersama. Mereka juga belajar menghargai setiap peran, sekecil apa pun kontribusi itu.
Proses inilah yang menjadikan literasi sebagai bagian dari pendidikan karakter. Membaca dan menulis mungkin bisa dilatih di kelas, tetapi empati, kolaborasi, dan rasa memiliki hanya bisa tumbuh melalui pengalaman nyata seperti ini.
Harapan ke Depan
Sekolah berharap taman literasi yang tengah dipersiapkan dapat menjadi pusat kegiatan siswa. Tidak hanya membaca, tetapi juga menulis, berdiskusi, hingga menggelar pameran kecil dari karya-karya kreatif mereka.
Taman literasi juga diharapkan mampu menumbuhkan budaya literasi yang lebih luas, tidak terbatas pada buku teks pelajaran. Dengan dukungan guru, siswa bisa mengenal beragam bacaan, dari cerita rakyat hingga buku sains populer, dari artikel opini hingga puisi.