Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Kolaborasi Guru dan Siswa dalam Menyiapkan Taman Literasi Sekolah

26 September 2025   04:46 Diperbarui: 26 September 2025   16:09 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman literasi disiapkan dengan cara kreatif, menggabungkan seni, permainan tradisional, dan gotong royong siswa-guru. (Sumber: Dok.Pribadi/yatmiati) 

“Kami belajar saling membantu. Kalau ada teman yang kesulitan menggambar, yang lain membantu. Rasanya menyenangkan karena kami membuat sesuatu bersama-sama,” ungkap  Ricard, seorang siswa dengan wajah berbinar.

Kolaborasi terlihat jelas. Ada siswa yang bertugas menyiapkan cat, ada yang menahan caping agar lebih mudah dilukis, sementara lainnya sibuk mengeringkan hasil karya. Guru tidak berdiri di depan memberi instruksi, melainkan ikut terlibat, duduk bersama, dan menjadi bagian dari proses kreatif itu.

Nilai kebersamaan inilah yang sejatinya menjadi roh dari kegiatan. Literasi bukan hanya soal kemampuan kognitif, tetapi juga tumbuh dari sikap saling menghargai, bekerja sama, dan berkontribusi pada lingkungan.

Di bawah teduhnya pepohonan, kolaborasi antara guru dan murid terjalin tanpa sekat. (Sumber: Dok.Pribadi/yatmiati) 
Di bawah teduhnya pepohonan, kolaborasi antara guru dan murid terjalin tanpa sekat. (Sumber: Dok.Pribadi/yatmiati) 

Sentuhan Budaya Lokal

Pilihan menggunakan caping sebagai media lukis tentu bukan tanpa alasan. Caping, atau tudung bambu, memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat pedesaan. Ia adalah simbol kerja keras petani, ketekunan, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan melibatkan caping dalam kegiatan literasi, sekolah secara tidak langsung menanamkan kesadaran budaya kepada siswa. Bahwa literasi tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan tradisi, seni, dan kehidupan sehari-hari.

“Anak-anak jadi tahu bahwa caping bukan hanya alat peneduh dari panas. Ia bisa menjadi karya seni, bisa menjadi simbol, bahkan bisa menjadi bagian dari taman literasi,” kata Mutia, seorang guru Seni.

Melalui cara ini, literasi dikembalikan ke akar budaya masyarakat, bukan sekadar aktivitas modern yang terlepas dari konteks lokal.

Dari mengecat lantai hingga melukis caping, semua dilakukan bersama demi menghadirkan ruang literasi yang hidup. (Sumber: Dok.Pribadi/yatmiati) 
Dari mengecat lantai hingga melukis caping, semua dilakukan bersama demi menghadirkan ruang literasi yang hidup. (Sumber: Dok.Pribadi/yatmiati) 

Ruang Belajar yang Menyenangkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun