“Kami belajar saling membantu. Kalau ada teman yang kesulitan menggambar, yang lain membantu. Rasanya menyenangkan karena kami membuat sesuatu bersama-sama,” ungkap Ricard, seorang siswa dengan wajah berbinar.
Kolaborasi terlihat jelas. Ada siswa yang bertugas menyiapkan cat, ada yang menahan caping agar lebih mudah dilukis, sementara lainnya sibuk mengeringkan hasil karya. Guru tidak berdiri di depan memberi instruksi, melainkan ikut terlibat, duduk bersama, dan menjadi bagian dari proses kreatif itu.
Nilai kebersamaan inilah yang sejatinya menjadi roh dari kegiatan. Literasi bukan hanya soal kemampuan kognitif, tetapi juga tumbuh dari sikap saling menghargai, bekerja sama, dan berkontribusi pada lingkungan.
Sentuhan Budaya Lokal
Pilihan menggunakan caping sebagai media lukis tentu bukan tanpa alasan. Caping, atau tudung bambu, memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat pedesaan. Ia adalah simbol kerja keras petani, ketekunan, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dengan melibatkan caping dalam kegiatan literasi, sekolah secara tidak langsung menanamkan kesadaran budaya kepada siswa. Bahwa literasi tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan tradisi, seni, dan kehidupan sehari-hari.
“Anak-anak jadi tahu bahwa caping bukan hanya alat peneduh dari panas. Ia bisa menjadi karya seni, bisa menjadi simbol, bahkan bisa menjadi bagian dari taman literasi,” kata Mutia, seorang guru Seni.
Melalui cara ini, literasi dikembalikan ke akar budaya masyarakat, bukan sekadar aktivitas modern yang terlepas dari konteks lokal.
Ruang Belajar yang Menyenangkan