Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bayam di Pekarangan: Jalan Sunyi Ketahanan Pangan Warga Kota

4 September 2025   18:18 Diperbarui: 4 September 2025   18:18 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayam, sayuran murah yang menyimpan filosofi ketangguhan warga kota. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Mengapa bayam? Pertama, ia tumbuh cepat. Dalam 20-25 hari, daun muda sudah bisa dipetik. Kedua, ia tidak rewel: bisa tumbuh di lahan tanah, pot, polybag, bahkan ember bekas. Ketiga, ia kaya gizi: zat besi, vitamin A, vitamin C, serat, hingga antioksidan. Dan bahkan tanpa ditanam pun dia bisa tiba-tiba tumbuh dan berkembang. 

Di perkotaan, ketiga hal ini menjadikan bayam sebagai kandidat utama pertanian pekarangan. Tidak butuh modal besar, tidak perlu menunggu berbulan-bulan, dan hasilnya langsung bisa dinikmati keluarga.

Ada filosofi menarik dari bayam: ia memberi lebih banyak daripada yang diminta. Hanya dengan sedikit tanah dan air, ia menghadirkan panen berulang. Dalam filosofi Jawa, bayam sering dikaitkan dengan kesederhanaan dan keteguhan-nilai yang justru semakin hilang dari gaya hidup kota.

Hijau sederhana di tanah sempit, tapi memberi arti besar bagi dapur keluarga. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 
Hijau sederhana di tanah sempit, tapi memberi arti besar bagi dapur keluarga. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Urban Farming sebagai Gerakan Sunyi

Beberapa kota di Indonesia mulai mendorong urban farming sebagai bagian dari kebijakan. Jakarta, misalnya, punya program Kampung Tangguh Pangan. Bandung mendorong kebun RW, sementara Surabaya mengembangkan "Kampung Sayur".

Namun, inisiatif terbesar justru datang dari warga. Di banyak sudut kota, muncul komunitas hobi tanam sayur. Mereka berbagi bibit, teknik tanam, hingga hasil panen. Di era digital, bahkan ada grup media sosial khusus berbagi tips menanam bayam organik di balkon apartemen.

Gerakan ini memang sunyi, jauh dari gegap gempita politik pangan nasional. Tapi jika dilihat dampaknya, ia bisa menjadi fondasi kuat. Bayangkan jika satu dari sepuluh rumah di kota menanam bayam di pekarangannya, ketergantungan pada pasar bisa berkurang signifikan.

Jakarta Timur menunjukkan contoh sukses kampanye urban farming. Pada Urban Farming Festival 2025, mereka meraih juara pertama di tiga kategori - antara lain sekolah (SMPN 7 Jakarta), kantor (Kecamatan Ciracas), serta ruang publik ramah anak (RPTRA Garuda, Cipayung). Ini menggambarkan bahwa urban farming bukan sekadar slogan, tetapi tumbuh sebagai solusi nyata yang diapresiasi komunitas dan pemerintah daerah.

Kemandirian Pangan Keluarga

Bayam pekarangan bukan hanya soal makan siang hemat, tetapi juga soal martabat. Keluarga yang mampu memenuhi sebagian kebutuhan pangannya sendiri lebih tangguh menghadapi krisis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun