Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demo, WhatsApp, dan Izin Sekolah: Cermin Kegelisahan Sosial

1 September 2025   11:15 Diperbarui: 1 September 2025   11:12 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo, Grup WhatsApp, dan izin sekolah. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI)

Hari ini, Senin 1 September 2025, jalanan di sejumlah titik di Lampung diperkirakan kembali dipenuhi aksi demonstrasi. Ribuan massa dari berbagai elemen mahasiswa dan berbagai organisasi masyarakat turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Sejumlah ruas jalan utama terpantau padat, aparat keamanan disiagakan untuk menjaga jalannya aksi agar tetap kondusif.

Fenomena ini menunjukkan bahwa gema demonstrasi tidak hanya bergema di ibu kota, tetapi juga merata ke daerah-daerah, termasuk Lampung. Meski pusat sorotan media sering terfokus pada Gedung DPR dan titik-titik utama di Jakarta, nyatanya ruang publik di daerah pun menjadi medan artikulasi politik. 

Yang menarik, suasana demonstrasi tak hanya terasa di jalanan. Grup WhatsApp keluarga, sekolah, hingga RT dipenuhi diskusi, kiriman video, hingga kabar simpang siur tentang jalannya aksi. Bagi sebagian masyarakat, percakapan daring ini bisa lebih riuh daripada suara toa di lapangan. 

Grup WhatsApp riuh oleh obrolan: apakah siswa akan ikut turun ke jalan? Apakah arus lalu lintas kota akan ikut terganggu?

Dalam konteks Lampung dan wilayah lainnya, aksi massa kali ini membawa dua wajah. Di satu sisi, menjadi ajang ekspresi demokrasi warga yang ingin menyuarakan tuntutan. Di sisi lain, menjadi ujian bagi aparat keamanan dan pemerintah daerah dalam mengelola dinamika sosial agar tidak berujung ricuh. 

Sementara itu, di Jakarta, demonstrasi susulan juga masih bergulir, meski skalanya cenderung lebih terkonsentrasi setelah puncak aksi akhir Agustus lalu. Hal ini memperlihatkan bahwa isu-isu nasional masih menjadi bara yang memantik semangat di berbagai daerah.

Pada akhirnya, demonstrasi bukanlah peristiwa lokal semata. Ia adalah bagian dari mozaik nasional: suara-suara dari daerah yang menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya hidup di pusat, tetapi juga berdenyut kuat di daerah.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa demonstrasi di Jakarta bukan hanya urusan ibu kota. Riak dan dampaknya terasa hingga ke daerah, termasuk Lampung, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.

Di grup WhatsApp, peringatan berantai berseliweran. "Besok hati-hati di jalan, jangan lewat Sudirman-Thamrin." "Arus dialihkan ke jalan alternatif." "Kalau tidak perlu, jangan keluar rumah." Kalimat-kalimat seperti ini menegaskan bahwa demo bukan hanya milik mereka yang berorasi di aspal, melainkan juga menjadi denyut psikologis warga sehari-hari.

Demo sebagai Ritual Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun