Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Psikologi Pajak Digital: Mengapa Wajib Pajak Takut Klik Submit?

27 Agustus 2025   14:04 Diperbarui: 28 Agustus 2025   14:25 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pajak digital. (Sumber: SHUTTERSTOCK/TARIK VISION via kompas.com)

Rasa takut submit ini perlu diubah menjadi keberanian untuk mencoba. Sistem digital seperti Coretax DJP dirancang untuk memudahkan, bukan mempersulit. Kalau ada kendala teknis, selalu ada panduan resmi, helpdesk, bahkan video tutorial yang bisa diakses. Lebih baik salah dan belajar, daripada tidak pernah mencoba sama sekali.

Menghadapi era digital, kita harus berani mengubah mindset: takut submit hanya akan membuat kita tertinggal. Dengan berani mengaktifkan akun dan mencoba, kita membuka pintu ke pelayanan pajak yang lebih efisien, cepat, dan transparan.

Psikologi di Balik Ketakutan Pajak Digital

Mengapa rasa takut itu mengakar kuat? Beberapa faktor utamanya:

  • Budaya birokrasi yang formal dan menakutkan. Saat sistem dipindah ke digital, perasaan takut ikut terbawa, meski tujuan sebenarnya adalah memudahkan.
  • Minim literasi digital perpajakan. Menurut indeks literasi digital 2020, Indonesia masih berada di level “sedang” (skor 3,47 dari skala 5).
  • Bahasa surat yang kaku. Gaya komunikasi formal sering terasa mengintimidasi, bukan mengedukasi.
  • Trauma administratif terdahulu. Pernah salah input dan ditegur membuat orang takut mencoba hal baru.

Rasa takut ini bukan tanda malas. Justru ini sinyal bahwa edukasi dan pendekatan humanis masih sangat dibutuhkan agar masyarakat nyaman menavigasi sistem pajak digital.

Fakta Ilmiah: Literasi Digital & Pajak Kunci Kepatuhan

Fakta riset sejatinya mendukung pandangan di atas:

  • Studi baru menunjukkan literasi digital secara signifikan berdampak pada kepatuhan pajak, karena memudahkan wajib pajak memahami prosedur digital, mengakses informasi, dan melaporkan pajak online dengan akurat- mengurangi risiko kesalahan dan potensi sanksi.
  • Penelitian lain dalam konteks sistem Coretax (CTAS) menyatakan bahwa literasi digital berpengaruh positif terhadap performance expectancy, yakni keyakinan bahwa sistem akan memberikan manfaat serta meningkatkan intention to use teknologi pajak.

Jadi, bukan hanya teknikal, tetapi aspek psikologis dan edukasi digital juga kritikal dalam memastikan penggunaan sistem pajak digital berjalan lancar dan efektif.

Budaya Takut Salah: Mengapa Kepatuhan Pajak Jadi Rumit?

Banyak orang di Indonesia sebenarnya ingin taat aturan. Namun, ada fenomena yang menarik: takut salah justru membuat orang ragu untuk patuh.

Dalam konteks pajak misalnya, sebagian orang enggan melapor atau menunda karena khawatir laporan mereka dianggap keliru. Orang sudah memiliki bayangan ketakutan kalau salah sedikit saja, bisa berujung panjang: dipanggil, diusut, atau bahkan dilabeli negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun