Pagi itu, saat berjalan santai di pinggir jalan, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah batang pohon. Bukan karena rindangnya, melainkan karena penuh tempelan iklan. Ada selebaran jasa cuci mobil, ada promosi rumah subsidi, promosi kampus, bahkan ada tulisan larangan membuang sampah sembarangan.Â
Ironisnya, meski tujuannya baik, caranya justru salah-pesan kebersihan ditancapkan dengan paku ke tubuh pohon.
Jujur, saya merasa miris. Setiap kali satu iklan dicabut, tak lama kemudian muncul iklan lain menggantikannya. Praktik ini seperti tidak ada habisnya.Â
Fenomena ini lebih banyak terlihat di pinggiran kota. Sementara di jalan-jalan besar atau arteri kota, mungkin orang tidak berani melakukannya karena akan segera ditertibkan.Â
Ironisnya lagi, di pinggir kota justru dibiarkan begitu saja, hingga silih berganti tempelan baru menutup yang lama, menumpuk tanpa ada yang mencopot. Pohon-pohon seolah jadi korban yang tidak bisa melawan.
Padahal, pohon itu hidup, tumbuh, dan memberi banyak manfaat bagi manusia. Tetapi kita sering memperlakukannya seolah sekadar papan pengumuman gratis.
Bagi sebagian orang, mungkin ini dianggap sepele. Toh hanya selembar kertas atau banner kecil. Namun di balik kesederhanaan itu, ada masalah besar yang luput dari perhatian. Pohon yang seharusnya tumbuh bebas dan menjadi penopang kehidupan justru diperlakukan sebagai benda mati.
Luka Kecil, Dampak Besar
Batang pohon dilapisi kulit yang berfungsi layaknya pelindung tubuh. Saat paku ditancapkan, jaringan itu rusak. Luka kecil ini membuka jalan masuk bagi jamur, serangga, hingga penyakit. Pohon memang tidak bisa berteriak, tapi luka itu nyata adanya. Lama kelamaan, pohon bisa melemah, rapuh, bahkan mati.
Jika satu pohon mati mungkin tidak terasa, tapi bayangkan bila ratusan atau ribuan pohon kota perlahan hilang. Ruang teduh yang kita nikmati lenyap. Udara jadi semakin panas. Dan ironisnya, semua berawal dari tindakan kecil yang dianggap biasa: memaku iklan di pohon.
Bukan Sekadar Masalah Estetika