Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyelami Perasaan: Dulu Sebagai Panitia SPMB, Kini Sebagai Orang Tua - Anomali yang Mengajarkan Empati

7 Juli 2025   13:06 Diperbarui: 7 Juli 2025   13:06 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empati Panitia Saat Memeriksa Berkas Pendaftaran SPMB. Sumber: Dok. Pribadi

Menyelami Perasaan: Dulu Sebagai Panitia SPMB, Kini Sebagai Orang Tua - Anomali yang Mengajarkan Empati

Pagi ini, saya datang ke sekolah dengan map berisi dokumen lengkap. Ini adalah hari penting-hari ketika saya mendaftarkan anak bungsu saya masuk SMP negeri. 

Dari tiga anak saya, anak bungsu ini adalah yang paling antusias ingin bersekolah di sekolah negeri. Kami memang memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih sekolah sesuai minat dan kebutuhan mereka-tentu setelah kami diskusikan secara matang, melihat potensi, lokasi, lingkungan belajar, dan kesiapan psikologis.

Keputusan anak bungsu kami sangat bulat. Ia ingin masuk sekolah negeri, dan kami sepakat untuk mendukungnya sepenuh hati. Maka, pendaftaran ini bukan sekadar urusan administratif. Ini adalah bagian dari dukungan kami sebagai orang tua atas tekad dan pilihan anak kami.

Panitia Bagian Pendaftaran Menjelaskan Alur Pendafataran dan Dokumen yang di unggah. Sumber. Dok. Pribadi
Panitia Bagian Pendaftaran Menjelaskan Alur Pendafataran dan Dokumen yang di unggah. Sumber. Dok. Pribadi

Di meja pendaftaran, saya mengisi formulir, menandatangani surat pernyataan di atas materai, menyusun dokumen-dokumen dengan rapi, dan memastikan tidak ada satu pun yang terlewat. Semua itu saya lakukan sebelum mendaftar secara online.

Saat saya mengisi formulir pendaftaran dan melengkapi berkas-berkas, saya tak menyangka akan merasa begitu... tidak menentu. Ada rasa khawatir yang menghantui:
"Bagaimana kalau berkas saya kurang?"
"Bagaimana kalau nanti anak saya tidak diterima?"
"Apakah saya sudah mengisi data dengan benar?"

Padahal saya sudah membaca juknisnya, saya tahu alurnya, dan saya tahu kriterianya. Tapi tetap saja, sebagai orang tua, perasaan cemas dan takut itu muncul begitu saja. Saya jadi mengerti-bahwa tidak semua hal bisa dirasionalisasi, apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah harapan dan masa depan anak.

Setelah selesai mengisi biodata dan menscan dokumen, saya melalukan pendaftaran online. Ya, ini memang paradoks: sudah mendaftar online, tapi tetap harus datang langsung ke sekolah. Namun justru di sinilah letak pentingnya proses verifikasi manual-memastikan keabsahan data, mencocokkan dokumen, dan meninjau kembali hal-hal yang mungkin terlewat oleh sistem. 

Dari meja pendaftaran, saya diarahkan ke ruang tunggu sebelum menuju ke meja pengecekan berkas. Saya duduk bersama si bungsu, menanti giliran sambil memperhatikan suasana sekitar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun