Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Generasi Alpha Makan Tiwul & Ketokohan Jenderal Sudirman

5 Juli 2025   07:59 Diperbarui: 5 Juli 2025   07:59 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiwul Original Sebelum di Masak. Sumber: Dok. Pribadi

Ketika Generasi Alpha Makan Tiwul: Pelajaran dari Meja Makan & Ketokohan Jenderal Sudirman 

“Kenapa nggak makan tiwul, Mbak?” tanyaku saat melihat anakku hanya memandangi piring tiwul goreng yang baru saja disajikan sang istri.

“Nggak, Pa. Nggak enak,” jawabnya cepat dan mantap.

Saya tersenyum, mencoba mendekatinya tanpa tekanan. “Coba aja dulu, siapa tahu suka.”

“Enggak lah,” jawabnya lagi. Semakin mantap.

Lalu saya keluarkan jurus klasik: sejarah dan tokoh besar.

Mbak tahu nggak, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman dulu juga makan tiwul lho.”

“Masa iya? Dari mana Papa tahu?” tanyanya curiga.

Saya tertawa kecil. “Zaman dulu belum ada ayam geprek, chicken food, burger, atau makanan instan. Tiwul, singkong, jagung itu makanan pokok para pejuang.”

Dengan ekspresi penasaran, ia pun mengambil sedikit. Satu suapan. Lalu dua. “Eh, ternyata enak, Pa!” katanya, lalu menghabiskan seperempat piring.

Sekilas mungkin terlihat sebagai momen lucu dan mengharukan-ketika generasi Alpha akhirnya mencicipi dan menyukai makanan yang dulu identik dengan kemiskinan. 

Tulisan ini bukan cerita anak saya yang baru pertama kali makan tiwul, meskipun sering tersaji tiwul di meja makan. Ini hanyalah pintu  masuk. Fokus saya adalah menyoroti potensi besar tiwul sebagai makanan alternatif yang relevan untuk masa kini dan masa depan, menjangkau lintas generasi. 

Melalui pendekatan diversifikasi pangan, tiwul bisa menjadi jawaban atas tantangan stagnasi pasar singkong yang selama ini belum teratasi. Ada potensi besar dari tiwul sebagai makanan alternatif di masa kini dan masa depan.

Apa itu Tiwul?

Tiwul terbuat dari singkong (Manihot esculenta) yang dikeringkan dan difermentasi. Tiwul memiliki nilai strategis yang sering kita abaikan. Secara ekonomi, singkong adalah komoditas unggulan yang dapat tumbuh subur di lahan marginal, tidak memerlukan irigasi intensif, dan bisa panen dalam waktu 7-10 bulan. 

Di Indonesia, produksi singkong per tahun mencapai lebih dari 19 juta ton (data BPS 2023), namun sebagian besar masih dijual sebagai bahan mentah, bukan dalam bentuk olahan bernilai tambah seperti tiwul instan, tiwul kekinian, atau pangan siap saji berbasis singkong dengan tetap mempertahakan kualitas dasarnya.

Tiwul dan Potensi Ekonomi

Potensi hilirisasi produk tiwul sangat besar. Di beberapa daerah seperti Gunungkidul, tiwul instan bahkan sudah diekspor ke Jepang dan Korea sebagai makanan sehat alternatif. Harga jual tiwul instan bisa mencapai Rp15.000–Rp25.000 per 250 gram, dengan margin keuntungan yang lebih tinggi daripada singkong mentah. Ini membuka peluang ekonomi desa- baik untuk petani, UMKM, hingga industri kuliner.

Selain itu, stagnasi pasar singkong dan turunannya seperti tepung mocaf atau gaplek sering kali disebabkan oleh minimnya inovasi produk dan rendahnya minat konsumen terhadap bentuk olahan yang monoton. Petani singkong kerap menghadapi dilema: panen melimpah, tapi harga anjlok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun