Arah Baru: Petani Modern, Sawah Digital
Kita bisa mulai menyuarakan bahwa menjadi petani bukan harus tinggal di desa, dan bukan harus miskin. Petani modern bisa tinggal di kota, mengelola sawah kecil dengan teknologi, dan menjual hasil panen lewat platform digital.
Jika kita bisa membuat budaya "kalau belum makan nasi belum makan", maka kita juga bisa menciptakan budaya baru:
"Kalau belum menghargai petani, jangan bicara soal ketahanan pangan."
Refleksi: Apakah Kota Hanya Milik Pengembang?
Pertanyaan yang mengusik nurani adalah: untuk siapa kota dibangun? Apakah hanya untuk mereka yang mampu membeli rumah baru? Atau untuk semua lapisan masyarakat- termasuk petani, generasi muda, dan ekosistem yang memberi hidup?
Kita perlu menyuarakan keadilan ruang. Pembangunan tidak boleh mematikan ruang hidup yang esensial.
Ruang Hijau Produktif: Bukan Sekadar Taman, tapi Sawah
Kota boleh tumbuh, tapi jangan rakus. Jangan semua ruang hijau diganti taman palsu yang tak menanam pangan. Kita butuh sawah di kota, bukan hanya untuk estetika, tapi untuk bertahan.
Konon, negara-negara maju seperti Jepang bahkan menerapkan konsep “peri-urban farming”, di mana sawah dan kebun tetap dijaga di dalam kota. Petani mendapatkan insentif, hasil panen dikonsumsi warga, dan ruang kota tetap seimbang antara beton dan tanah.
Solusi Bukan Sekadar Regulasi
Pemerintah memang telah mengeluarkan regulasi tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Namun di lapangan, implementasi dan pengawasan sangat lemah. Banyak sawah yang sudah masuk kategori LP2B tetap saja dibangun perumahan dengan berbagai celah hukum.