Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Sawah Terakhir di Tengah Kota: Tergusur demi Beton, Terancam Krisis Pangan?

22 Juni 2025   07:01 Diperbarui: 22 Juni 2025   13:26 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu ironi yang sudah lama berakar di masyarakat Indonesia: "Kalau belum makan nasi, artinya belum makan."
Kalimat ini sering kita dengar di rumah, warung, bahkan iklan televisi. Nasi adalah simbol kenyang, simbol makan yang sesungguhnya.

Tapi, mari kita tanyakan ini: Jika kita semua ingin makan nasi, siapa yang akan menanam padinya?

Sayangnya, generasi muda Indonesia semakin menjauh dari sawah. Menjadi petani dianggap pekerjaan kelas dua, identik dengan kemiskinan dan penderitaan. Banyak anak petani dididik agar jangan “seperti bapaknya”-bekerja di lumpur tanpa jaminan penghasilan tetap.

Akibatnya?
Regenerasi petani terputus. Data BPS menyebutkan rata-rata usia petani di Indonesia sudah di atas 45 tahun. Dalam 10–20 tahun ke depan, siapa yang akan menggantikan mereka? Dan jika sawah-sawah di kota makin habis, mungkinkah kita akan benar-benar “makan nasi impor” setiap hari?

Membangun Budaya Pangan dan Petani Baru

Solusi dari persoalan ini bukan hanya pada kebijakan, tapi juga pada budaya. Kita harus membalik stigma. Petani bukan profesi masa lalu, tapi penjaga masa depan.

Apa yang bisa dilakukan?

  • Sekolah harus mulai mengenalkan profesi petani sebagai pahlawan pangan. Masukkan materi tentang pentingnya pertanian kota dan teknologi pertanian modern ke dalam kurikulum.

  • Dorong generasi muda untuk terlibat dalam urban farming dan pertanian berbasis komunitas.

  • Buat konten digital dan media sosial yang mempromosikan gaya hidup petani muda yang kreatif, mandiri, dan berdampak.

  • Ciptakan ekosistem pertanian di kota-dari sawah edukatif, pasar petani lokal, hingga program subsidi pupuk bagi petani kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun