Ada satu ironi yang sudah lama berakar di masyarakat Indonesia: "Kalau belum makan nasi, artinya belum makan."
Kalimat ini sering kita dengar di rumah, warung, bahkan iklan televisi. Nasi adalah simbol kenyang, simbol makan yang sesungguhnya.
Tapi, mari kita tanyakan ini: Jika kita semua ingin makan nasi, siapa yang akan menanam padinya?
Sayangnya, generasi muda Indonesia semakin menjauh dari sawah. Menjadi petani dianggap pekerjaan kelas dua, identik dengan kemiskinan dan penderitaan. Banyak anak petani dididik agar jangan “seperti bapaknya”-bekerja di lumpur tanpa jaminan penghasilan tetap.
Akibatnya?
Regenerasi petani terputus. Data BPS menyebutkan rata-rata usia petani di Indonesia sudah di atas 45 tahun. Dalam 10–20 tahun ke depan, siapa yang akan menggantikan mereka? Dan jika sawah-sawah di kota makin habis, mungkinkah kita akan benar-benar “makan nasi impor” setiap hari?
Membangun Budaya Pangan dan Petani Baru
Solusi dari persoalan ini bukan hanya pada kebijakan, tapi juga pada budaya. Kita harus membalik stigma. Petani bukan profesi masa lalu, tapi penjaga masa depan.
Apa yang bisa dilakukan?
Sekolah harus mulai mengenalkan profesi petani sebagai pahlawan pangan. Masukkan materi tentang pentingnya pertanian kota dan teknologi pertanian modern ke dalam kurikulum.
Dorong generasi muda untuk terlibat dalam urban farming dan pertanian berbasis komunitas.
Buat konten digital dan media sosial yang mempromosikan gaya hidup petani muda yang kreatif, mandiri, dan berdampak.
Ciptakan ekosistem pertanian di kota-dari sawah edukatif, pasar petani lokal, hingga program subsidi pupuk bagi petani kota.