Sepertinya dalam banyak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), keberadaan sawah sering tidak menjadi prioritas. Ia dianggap tidak produktif secara ekonomi dalam konteks pasar properti. Padahal, sawah bukan hanya tempat menanam padi, tetapi benteng ketahanan pangan, pengendali banjir, dan penjaga keseimbangan ekologi kota.
Namun kini, sawah-sawah yang tersisa seolah menjadi "kesalahan spasial" yang segera harus dibenahi-dengan aspal dan semen. Meskipun sebagian besar merupakan sawah tadah hujan yang hanya mengandalkan air dari langit, sawah ini tetap berperan penting dalam menjaga rantai pangan. Ia bukan hanya sebidang tanah basah, tapi bagian dari sistem kehidupan yang menghubungkan petani, pasar, dan meja makan kita.Â
Sawah Adalah Nafas Kota
Jangan tunggu sampai kita hanya bisa melihat sawah di foto-foto lama dan buku pelajaran. Jangan sampai anak-anak kita hanya tahu "padi" dari gambar di buku, bukan dari pengalaman hidup nyata.
Sawah di kota bukan nostalgia, tapi kebutuhan masa depan.
Jika kamu setuju bahwa sawah di tengah kota harus diselamatkan, mari mulai dari kesadaran. Menulis, bersuara, dan bergerak. Sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Dilema Pemilik Sawah: Ditekan Kebutuhan, Ditawarkan Harga
Tak sedikit pemilik sawah yang akhirnya menyerah pada tawaran pengembang. Harga tanah yang tinggi, kebutuhan hidup yang mendesak, dan kurangnya dukungan kebijakan agraria membuat pilihan menjual terasa logis. Tapi inilah jebakan besar pembangunan tanpa arah: saat sawah habis, kita pun kehilangan sumber pangan- dan tak bisa menanam rumah.
Bayangkan jika 1 hektare sawah produktif bisa menghasilkan 5 ton gabah per musim. Jika semua itu berubah menjadi beton, maka kita kehilangan kemampuan memproduksi puluhan ribu ton beras dalam jangka panjang. Kita tak hanya kehilangan tanah—kita kehilangan kedaulatan pangan.
Paradoks Nasi dan Petani: Mau Makan, Tapi Enggan Menanam