Kreator Konten dan Media: Keuntungan yang Masif
Di era digital, siapa pun bisa menjadi penyebar budaya. Sayangnya, mereka juga bisa menjadi "penikmat keuntungan" terbesar. Banyak konten kreator yang mengunggah video Pacu Jalur mendapat jutaan tayangan. Mereka memperoleh pendapatan dari adsense, endorsement, dan bahkan sponsor besar. Padahal, sebagian besar dari mereka tidak ikut menjaga, merawat, apalagi memahami nilai budaya dari Pacu Jalur.
Bukan berarti para konten kreator tidak berhak mengambil bagian. Dalam dunia digital yang terbuka, semua orang bebas mendistribusikan informasi. Namun, etika budaya perlu dikedepankan. Jika mereka benar-benar peduli, seharusnya ada upaya untuk mengembalikan sebagian keuntungan itu ke masyarakat pemilik budaya. Misalnya, dengan menyumbangkan sebagian pendapatan untuk perawatan jalur, pelatihan generasi muda, atau bahkan membuat dokumenter edukatif yang bekerja sama dengan tokoh adat setempat.
Media massa, baik nasional maupun internasional, juga turut menikmati keuntungan serupa. Mereka meliput Pacu Jalur bukan hanya untuk menyebarkan informasi, tapi juga demi rating, klik, dan monetisasi. Lagi-lagi, budaya lokal menjadi "komoditas konten" yang diperebutkan banyak pihak.
Budaya vs Komoditas: Dilema Modernisasi
Keviralan Pacu Jalur menunjukkan dilema besar antara budaya dan komoditas. Ketika budaya dikomodifikasi, ia berpotensi kehilangan esensinya. Ritual dan simbol menjadi "atraksi", nilai spiritual berubah jadi "tontonan", dan ruang sakral dijadikan "spot selfie".
Kita tidak bisa menolak perubahan zaman. Tradisi harus adaptif terhadap teknologi dan arus informasi. Namun, penting bagi semua pihak---masyarakat lokal, pemerintah, dan pelaku media---untuk mengedepankan prinsip keadilan budaya. Tradisi tidak boleh hanya dijadikan "alat jual", tetapi juga harus dilindungi sebagai warisan berharga.
Pacu Jalur adalah cerita tentang perjuangan, solidaritas, dan semangat kebersamaan. Dalam satu jalur (perahu) bisa terdiri dari puluhan pendayung yang harus bekerja serempak. Ini adalah simbol kehidupan masyarakat yang harus kompak, saling menopang, dan menjaga keharmonisan. Jika keviralan menjauhkan kita dari makna-makna ini, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan tradisi itu mati secara perlahan meski tampak gemerlap di layar ponsel.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Agar Pacu Jalur tetap hidup secara bermartabat, semua pihak harus mengambil tanggung jawab. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan pelestarian yang konkret, bukan hanya festivalisasi. Masyarakat lokal harus tetap diberdayakan sebagai pelaku utama, bukan hanya pelengkap seremoni. Para kreator konten harus mulai belajar etika budaya: bahwa tidak semua yang viral itu netral. Mereka perlu menyadari bahwa di balik satu video Pacu Jalur, ada sejarah panjang dan identitas suatu bangsa yang sedang dipertaruhkan.