Mohon tunggu...
Kak Memo
Kak Memo Mohon Tunggu... Kolumnis

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Work From Anywhere (WFA) bagi ASN, Akankah Menjadi Kebijakan Setengah Matang?

2 Maret 2025   12:12 Diperbarui: 2 Maret 2025   11:54 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AHY (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=ua7utYaM5FY)

Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan Work From Anywhere (WFA) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama menjelang musim mudik Lebaran 2025. Kebijakan ini diklaim sebagai solusi untuk mengurangi kepadatan lalu lintas yang selalu terjadi saat periode libur panjang.

Namun, di tengah euforia fleksibilitas kerja yang semakin populer, muncul pertanyaan kritis: apakah WFA benar-benar dapat meningkatkan efisiensi birokrasi, atau justru menjadi celah yang melemahkan akuntabilitas dan produktivitas ASN?

Penerapan sistem kerja fleksibel sebenarnya bukan hal baru. Sejak pandemi COVID-19, banyak sektor, terutama swasta, telah menerapkan kebijakan hybrid atau bahkan full remote. Tren ini dianggap mampu meningkatkan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi pekerja. Namun, sektor pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sektor swasta. Pelayanan publik membutuhkan interaksi langsung dengan masyarakat, dan tidak semua tugas ASN bisa dijalankan secara jarak jauh. Jika WFA diterapkan tanpa kajian mendalam, dikhawatirkan efektivitas pelayanan publik justru menurun.

Masalah utama yang harus diperhatikan dalam kebijakan ini adalah pengawasan dan akuntabilitas. Selama pandemi, laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat bahwa banyak ASN mengalami penurunan produktivitas saat bekerja dari rumah. Hal ini menandakan bahwa tanpa sistem pemantauan yang ketat, WFA dapat menjadi celah bagi pegawai yang kurang disiplin untuk mengurangi kinerjanya. Selain itu, survei Jakpat tahun 2022 menunjukkan bahwa efektivitas kerja dari kantor (WFO) lebih tinggi dibandingkan dengan WFA, yang berarti ada risiko bahwa kebijakan ini justru menghambat kinerja pemerintah.

Tantangan lain yang harus diperhitungkan adalah kesiapan infrastruktur digital. Hingga 2024, laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa hanya 57% instansi pemerintah yang telah memiliki sistem digital yang terintegrasi dengan baik. Ini menandakan bahwa masih ada banyak instansi yang bergantung pada proses manual, yang tentunya sulit dilakukan jika ASN bekerja dari lokasi yang berbeda-beda. Di sisi lain, akses internet yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi kendala bagi ASN yang bertugas di daerah terpencil. Tanpa infrastruktur yang memadai, WFA bisa menciptakan kesenjangan produktivitas antara ASN di kota besar dan mereka yang bekerja di daerah dengan fasilitas terbatas.

Yang juga menarik, wacana WFA kali ini muncul menjelang masa mudik Lebaran. Ini menimbulkan dugaan bahwa kebijakan ini bukanlah bagian dari strategi reformasi birokrasi yang menyeluruh, melainkan hanya solusi instan untuk mengurai kemacetan. Jika tujuan utamanya hanya untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, bukankah ada solusi lain yang lebih masuk akal, seperti pengaturan jadwal kerja bergilir atau peningkatan layanan transportasi umum? Kebijakan yang dibuat karena faktor musiman seperti ini berisiko tidak memiliki dampak jangka panjang yang signifikan terhadap reformasi birokrasi secara keseluruhan.

Selain itu, penerapan WFA juga berpotensi menciptakan ketimpangan di antara ASN. Pegawai yang bekerja di bidang administrasi atau berbasis digital mungkin bisa menjalankan tugasnya dari mana saja, tetapi bagaimana dengan mereka yang bekerja di sektor pelayanan langsung seperti tenaga kesehatan, petugas imigrasi, atau aparat penegak hukum? Jika hanya sebagian ASN yang bisa menikmati WFA, sementara yang lain tetap harus hadir di tempat kerja, hal ini bisa memicu kecemburuan sosial dan ketidakadilan dalam lingkungan pemerintahan.

Pemerintah seharusnya tidak terburu-buru dalam menerapkan kebijakan ini tanpa kajian yang mendalam. Jika WFA ingin diterapkan secara efektif, perlu ada sistem pengawasan berbasis kinerja yang jelas, peningkatan infrastruktur digital, serta evaluasi berkala untuk memastikan bahwa fleksibilitas kerja tidak mengorbankan pelayanan publik. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi langkah populis yang menguntungkan segelintir orang tetapi melemahkan efektivitas birokrasi secara keseluruhan. Fleksibilitas memang penting dalam dunia kerja modern, tetapi bagi sektor pemerintahan, efisiensi dan akuntabilitas tetap harus menjadi prioritas utama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun