Masyarakat digiring untuk percaya bahwa kebahagiaan dan kesuksesan dapat dicapai dengan memiliki barang-barang yang tampak mewah dan mengikuti gaya hidup yang dipromosikan. Dalam prosesnya, individu menjadi semakin terjebak dalam standar yang ditentukan oleh influencer dan pasar, dengan konsekuensi yang mengarah pada keinginan yang tidak berujung.
Budaya konsumtif ini membentuk cara pandang kita terhadap pencapaian dan nilai diri. Orang yang tidak mampu mengikuti standar yang ditetapkan oleh influencer sering merasa tertinggal atau tidak cukup baik. Ini menciptakan kecemasan dan tekanan sosial yang berkelanjutan. Bahkan, banyak yang merasa terperangkap dalam pencarian pengakuan yang tak pernah berakhir, meskipun sering kali mereka tidak membutuhkan barang-barang tersebut.
Kapitalisme dalam balutan estetika ini mengarah pada penciptaan kebutuhan palsu yang tidak ada habisnya. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, konsumsi menjadi lebih dari sekadar kebutuhan, tetapi menjadi tujuan itu sendiri.
Estetika dan gaya hidup yang tampak sempurna dijual sebagai simbol pencapaian, dan dalam banyak hal, ini menjadi tujuan hidup yang baru. Seiring dengan terus berkembangnya teknologi dan platform sosial, kita semakin terperangkap dalam siklus konsumsi ini, yang tampaknya sulit untuk dihentikan.
Pada akhirnya, fenomena influencer adalah cerminan dari bagaimana kapitalisme dapat membentuk realitas kita melalui estetika, menciptakan kebutuhan baru yang sebelumnya tidak kita sadari. Ini adalah gambaran tentang bagaimana dunia konsumsi telah memasuki setiap aspek kehidupan, mengubah cara kita melihat barang dan gaya hidup menjadi lebih dari sekadar kebutuhan, tetapi sebagai identitas yang harus dipenuhi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI