Di era digital ini, kita hidup dalam dunia yang semakin terkoneksi. Dengan sekali klik, kita dapat berkomunikasi dengan seseorang di belahan dunia lain, mengakses informasi dalam hitungan detik, dan bahkan bekerja tanpa harus meninggalkan rumah. Namun, di balik segala kemudahan ini, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah kita semakin dekat atau justru semakin terasing?
Teknologi telah mengubah cara kita berinteraksi. Jika dahulu pertemuan tatap muka adalah satu-satunya cara untuk bersosialisasi, kini kita bisa berbicara melalui layar. Video call, pesan instan, dan media sosial telah menjadi jembatan komunikasi modern.Â
Namun, apakah komunikasi digital benar-benar dapat menggantikan interaksi langsung? Sebuah penelitian dari University of California menunjukkan bahwa hubungan sosial yang terlalu bergantung pada teknologi dapat mengurangi empati dan kedekatan emosional antarindividu. Emotikon mungkin bisa menyampaikan ekspresi, tetapi tak bisa menggantikan tatapan mata atau sentuhan yang tulus.
Fenomena keterasingan juga terjadi di dalam rumah. Banyak keluarga yang duduk bersama, tetapi masing-masing sibuk dengan gawai mereka. Anak-anak lebih asyik dengan game online ketimbang berbincang dengan orang tua.Â
Ironisnya, meskipun teknologi diciptakan untuk mendekatkan, banyak yang merasa semakin jauh satu sama lain. Sebuah survei dari Pew Research Center menemukan bahwa 60% orang dewasa merasa lebih terisolasi karena media sosial, meskipun mereka memiliki banyak 'teman' daring.
Selain hubungan sosial, dunia kerja juga mengalami transformasi besar. Pandemi COVID-19 mempercepat tren kerja jarak jauh, yang memberikan fleksibilitas lebih bagi pekerja. Namun, di sisi lain, konsep work-life balance semakin kabur.Â
Banyak yang merasa sulit untuk memisahkan waktu kerja dan waktu pribadi karena notifikasi pekerjaan bisa datang kapan saja. Ditambah lagi, tanpa interaksi langsung di kantor, rasa kebersamaan dalam tim juga berkurang.
Tak hanya dalam lingkup sosial dan pekerjaan, revolusi digital juga mengubah cara kita mengonsumsi informasi. Dahulu, membaca koran atau menonton berita di televisi adalah sumber utama informasi. Kini, algoritma media sosial menentukan berita apa yang kita lihat.Â
Filter bubble—fenomena di mana seseorang hanya terpapar informasi yang sejalan dengan pandangannya—membuat kita semakin terjebak dalam perspektif sempit dan sulit menerima sudut pandang lain. Misinformasi pun semakin sulit dibendung, karena berita palsu dapat menyebar lebih cepat daripada kebenaran.
Namun, tentu tidak adil jika hanya melihat sisi negatif revolusi digital. Teknologi telah memberikan banyak manfaat, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Akses terhadap ilmu pengetahuan menjadi lebih luas, siapa pun bisa belajar dari mana saja.Â
Di dunia medis, telemedicine membantu pasien berkonsultasi dengan dokter tanpa harus pergi ke rumah sakit. Inovasi seperti kecerdasan buatan juga membantu memecahkan berbagai masalah yang dulu sulit diatasi.