Dalam salah satu tulisannya yang paling terkenal, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), Ki Hajar Dewantara dengan tajam mengkritik perayaan kemerdekaan Belanda yang didanai dari pajak rakyat pribumi.Â
Ia menyoroti ketidakadilan sistem kolonial yang menghisap sumber daya bangsa terjajah, tetapi tidak memberikan hak yang sama kepada penduduk pribumi.Â
Tulisan ini begitu menusuk hingga membuat pemerintah kolonial marah dan menjatuhkan hukuman pengasingan kepada Ki Hajar Dewantara.Â
Namun, keputusan tersebut justru membuktikan kekuatan pers sebagai alat perjuangan.
Pengasingan ke Belanda tidak membuat Ki Hajar Dewantara berhenti menulis dan berjuang.Â
Justru, di negeri orang itulah ia semakin memperdalam pemahamannya tentang dunia jurnalistik dan pendidikan.Â
Ia menyadari bahwa kebangkitan nasional tidak hanya bisa diperjuangkan dengan politik, tetapi juga melalui pendidikan dan kesadaran intelektual.Â
Ketika akhirnya kembali ke tanah air, ia tetap aktif dalam dunia pers, tetapi dengan pendekatan yang lebih luas.
Sebagai seorang pendidik, ia melihat pers bukan hanya sebagai alat propaganda, melainkan sebagai sarana pendidikan bagi rakyat.Â
Ia percaya bahwa masyarakat yang tercerahkan adalah masyarakat yang memiliki akses terhadap informasi dan pemikiran kritis.Â
Maka, dalam berbagai kesempatan, ia terus menekankan pentingnya pers yang mendidik, bukan sekadar pers yang memberitakan.