Di tengah kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) yang semakin meresap dalam kehidupan kita, penting untuk mempertanyakan apakah nilai-nilai pendidikan tradisional, seperti yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara, masih relevan.Â
Salah satu konsep pendidikan yang terkenal adalah pola Asah, Asih, Asuh, yang menekankan pentingnya pengasahan kecerdasan, penanaman kasih sayang, dan pembinaan karakter.Â
Dengan perkembangan pesat AI, apakah konsep ini tetap relevan, atau perlu disesuaikan kembali?
Asah: Kecerdasan yang Semakin Tajam atau Semakin Tumpul?
Konsep Asah berfokus pada pengembangan intelektualitas peserta didik. Di era AI, kita memiliki akses lebih mudah ke informasi berkat teknologi.Â
Dalam sekejap, berbagai pengetahuan yang dulu hanya bisa diakses melalui buku atau guru kini bisa didapatkan hanya dengan klik. Bahkan, AI kini bisa memberikan sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar individu.
Namun, muncul kekhawatiran bahwa kemudahan akses ini justru bisa mengurangi kemampuan berpikir kritis.Â
Ketika jawaban atas berbagai pertanyaan dapat ditemukan dalam sekejap, apakah kita masih terdorong untuk mengasah kemampuan analitis dan kreativitas kita?Â
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga pada pemahaman, analisis, dan penerapan pengetahuan.Â
Dalam hal ini, AI seharusnya berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti. Pendidikan berbasis Asah di era AI perlu lebih menekankan pengembangan pemikiran kritis, bukan sekadar konsumsi informasi.