Setelah berkendara ratusan kilometer, akhirnya sekitat pukul 16.00 JST saya tiba di Tanjung Soya --- ujung paling utara daratan Jepang. Monumen segitiga khas berdiri kokoh menatap Laut Okhotsk yang tenang namun saya merasakan penuh misteri. Monumen Ujung Utara Jepang (, Nihon saihokutan nochinohi). Monumen ini berdiri megah di Tanjung Sya (, Sya Misaki), Prefektur Hokkaid, menandai titik paling utara dari wilayah daratan Jepang. Monumen ini berbentuk segitiga putih, melambangkan garis lintang utara ke-45, sebagai simbol penghubung antara Jepang dan dunia utara. Diresmikan pada 1968, monumen ini bukan sekadar penanda geografis, tetapi juga simbol harapan, kedamaian, dan refleksi sejarah kawasan utara Jepang.
Di sini, dunia seolah benar-benar berakhir. Tidak ada lagi daratan negeri Jepang setelah ini. Dari sini, pengunjung dapat memandang ke utara, melintasi Laut Sya hingga ke Kepulauan Sakhalin milik Rusia yang hanya berjarak sekitar 43 km jauhnya sekaligus sebagai sebuah pengingat kedekatan geografis namun mempunyai kompleksitas politik yang panjang.
Angin utara sore itu berhembus kencang, tapi tak lagi menggigit seperti di musim dingin dengan langit biru sore itu nampak terang, diiringi awan berarak, udara bersih dan kabut tipis menyisakan pandangan lautnya luas yang seakan tak bertepi ditambah tak cukup banyak pengunjung di sore itu, memperkuat kesan dramatis berada di "ujung negeri Matahari Terbit." Dengan sebuah ketenangan yang menghadirkan rasa syukur bahwa ternyata saya bisa sampai sejauh ini. Sungguh syukur bahwa bisa juga kahirnya saya menapakkan jejak di Monumen ini yang menjadi tujuan populer wisatawan domestik maupun mancanegara yang ingin merasakan sensasi "berdiri di ujung utara Jepang", sekaligus merenungi keabadian alam, sejarah perbatasan, dan identitas nasional Jepang yang berakar kuat hingga ke garis terluarnya.
Dokumentasi jejak digital ketika berada di Tanjung Soya adalah sebagaimana tampak di foto di bawah ini :
Sementara bila ingin mengetahui dan turut merasakan suasana di sekitar Monumen, dapat dilihat di link : https://youtube.com/shorts/9eVCUA50XGY?feature=share
Tapi perjalanan saya tak sekadar berhenti di monumen itu. Satu per satu saya tapaki titik-titik simbolis paling utara di Jepang yang membuat hati ini dihinggapi berbagai sensasi yang menggetarkan. Setiap langkah di Tanjung Sya (), di sekitar tempat berdirinya Monumen Ujung Utara Jepang (), seakan membawa diri ini lebih dekat ke garis tipis yang memisahkan negeri Matahari Terbit dengan hamparan luas dunia utara.
Disisi timur monumen saya menemukan bangunan kecil yang ketika saya dekati adalah bangunan sederhana bertuliskan toilet umum di Soya Misaki dan ini tentu merupakan toilet (umum) paling utara di seluruh Jepang. Dari luar, bangunan tersebut tampak biasa saja. Tak ada penanda khusus yang menyatakan keistimewaannya lalu saya membuka pintu bilik toilet. Di dalam, berderet toilet berdiri untuk buang air kecil , sebuah aktivitas keseharian sederhana yang mendadak terasa monumental. Ketika itu sebuah esensial menghampiri saya bahwa beginilah rapuhnya manusia. Bahkan di ujung utara peradaban, kita tetap tunduk pada panggilan tubuh. Di titik ini, manusia, alam, dan sebuah bangunan bertemu dalam keheningan yang aneh ketika melepas hajat. Seselesai membuang hajat kecil, flush saya tekan. Air berputar dalam pusaran sempurna, seakan membawa semua jejak keberadaanku menyatu dalam arus besar air buangan toilet ini. Di luar, tiang Monumen Titik Paling Utara yang berdiri tegar menatap Arktik, seolah berkata " Hai Cak Tun, di sini, bahkan buang air pun adalah bagian dari catatan sejarah diri menuju kisah keabadian bahwa Cak Tun pernah sampai sejauh ini."Â