Mohon tunggu...
tumpal paskalis
tumpal paskalis Mohon Tunggu... Fresh Graduate

Ingin memulai hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Implementasi UU TPKS: Antara Semangat Legislasi dan Lumpuhnya Akal Pelaksana

6 Agustus 2025   22:15 Diperbarui: 6 Agustus 2025   22:15 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

UU TPKS sejatinya lahir sebagai produk hukum progresif yang digadang-gadang akan menjadi pelindung utama korban kekerasan seksual. Namun, ketika harapan masyarakat sipil bertemu dengan kenyataan di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya: regulasi ini tersungkur bahkan sebelum sempat berlari. Pelaksanaannya nyaris berjalan di tempat  atau lebih tepatnya, berjalan dengan kaki ayam: tanpa sepatu, tanpa arah, dan terlalu sibuk berkokok di atas tumpukan laporan yang tak kunjung dibaca. 

Sebagaimana dicatat Prianter Jaya dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia (2022), hambatan utama implementasi UU TPKS terletak pada kapasitas aparat penegak hukum yang belum memadai dalam memahami substansi regulasi, fenomena inilah yang dapat disebut sebagai defisit pemahaman institusional.

Selain itu, Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2024, tercatat bahwa jumlah kasus kekerasan seksual masih berada pada angka yang mengkhawatirkan, yakni sebanyak 25.330 kasus, dengan 21.952 di antaranya melibatkan korban perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa sekalipun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah berlaku selama dua tahun, implementasinya belum menunjukkan efektivitas yang signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan (disconnect) antara norma hukum yang telah diatur secara formal dan praktik pelaksanaannya di lapangan.

Lebih lanjut, Komnas Perempuan juga melaporkan bahwa sekitar 65% dari 3.422 kasus kekerasan berbasis gender pada tahun 2022 mengalami hambatan dalam proses penegakan hukum, yang disebabkan oleh minimnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap prosedur dan substansi yang terkandung dalam UU TPKS. Keadaan tersebut mencerminkan lemahnya kapasitas institusional dalam mengoperasionalisasikan peraturan perundang-undangan secara tepat dan responsif terhadap kepentingan perlindungan korban.

Data tersebut juga didukung oleh pernyataan Sri Wiyanti Eddyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang menyatakan bahwa efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak semata-mata ditentukan oleh kelengkapan dan detail substansi normatif dalam undang-undang tersebut, melainkan juga sangat bergantung pada struktur hukum, khususnya kapasitas dan kompetensi aparat penegak hukum. Ia menegaskan bahwa struktur hukum yang lemah, termasuk keterbatasan pemahaman dan keterampilan aparat, menjadi faktor penghambat utama dalam implementasi UU TPKS secara optimal. Ia juga mengkritisi kecenderungan aparat penegak hukum yang tidak memperlakukan UU TPKS sebagai lex specialis dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Akibatnya, dalam praktik, aparat justru sering kali menerapkan ketentuan pidana umum (KUHP) yang tidak sepenuhnya mencerminkan pendekatan perlindungan korban yang diusung dalam UU TPKS.

Contohnya Pada tahun 2024, LBH Apik Jakarta menerima sebanyak 303 laporan kasus kekerasan seksual, yang mencerminkan bahwa kekerasan seksual masih menjadi fenomena serius dan berulang dalam masyarakat. Dari jumlah tersebut, hanya 30 kasus yang mendapatkan pendampingan hukum untuk ditindaklanjuti secara formal. Menariknya, dari seluruh upaya tersebut, hanya lima kasus yang berhasil menembus gerbang pengadilan. Sisanya, barangkali, tersesat dalam labirin birokrasi dan prosedur yang tampaknya lebih lihai membungkam keadilan ketimbang menegakkannya. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang digadang-gadang sebagai harapan baru bagi korban kekerasan seksual masih belum mampu menembus benteng tebal yang dinamakan 'akal' aparat penegak hukum. Alih-alih memanfaatkan instrumen lex specialis ini, aparat justru dengan penuh keyakinan mengandalkan UU ITE dan Undang-Undang Pornografi, seolah-olah kasus kekerasan seksual adalah perkara unggahan digital atau estetika tubuh semata.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan reflektif: apakah benar hukum kita belum cukup, atau justru para penegaknya yang masih gagap membedakan antara alat keadilan dan alat pembungkam suara korban? Dengan demikian, alih-alih menjadi pedoman implementatif, UU TPKS kini lebih sering diposisikan sebagai hiasan legislasi yang fungsinya sebatas dibanggakan dalam seminar, namun dilupakan dalam ruang sidang.

Problem utamanya bukan pada undang-undangnya, tetapi pada para penafsir dan pelaksananya. Ketika aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi ujung tombak perlindungan justru gagap memahami isi pasal demi pasal, kita tak sedang berbicara soal keterlambatan sistem, kita sedang menyaksikan opera kebodohan yang dipentaskan dalam seragam resmi. Inilah yang disebut sebagai "simbolisme legislasi": indah di permukaan, tapi nihil di pelaksanaan. Sebuah drama hukum yang tak lucu, tapi terus dipentaskan dengan anggaran negara.

Alih-alih menyelamatkan korban, sebagian aparat justru sibuk memelintir pasal, atau lebih buruk lagi, yakni "menyarankan mediasi dalam perkara kekerasan seksual". Ini bukan sekadar "stagnasi implementatif"; ini adalah kegagalan moral yang dibungkus dalam stempel resmi. Dan ketika hukum tak berpihak karena tak dipahami, maka siapa sebenarnya predator sesungguhnya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun