Langit Biru  kepada Umbuik Mudo  menyebutkan secara rinci nama-nama internal Muhammadiyah yang protes dan minta bantuan itu dipindahkan.  Mereka adalah  Kalifah Insan, (pekerjaan tani dan Imam di Musala), Burhan Pandai,  Guru Agama SD kemudian menjadi Guru MTsM, dan Haji Alhamdulillah,  pedagang.  Semuanya sekarang sudah almarhum.Â
Pelajaran Berharga
Yang menjadi pelajaran dari kisah nyata  di atas adalah bahwa perseteruan internal di dalam Muhammadiyah lebih banyak karena urusan pribadi.  Hal itu membuat persyarikatan mengalami degeradasi moral dan wibawa  di tengah-tengah umat dan masyarakat.
Perseteruan pribadi itu merembet ke politik  pada masa Orde Baru tadi. Pada 3 kali Pemilu,  1971, 1977, 1982 Partai yang menang berturut-turut di Desa Camin Jaya dan Nagari Matahari adalah Partai PKH.Â
Padahal Bupati mesti memenangkan Partai PPR. Karena soko-guru pemerintah Orde Baru waktu itu adalah Partai PPR. Itulah sebabnya kenapa Bupati langsung menghadap Kakanwil pada sebelum Pemilu ke-3, 1982 untuk memenangkan Partai PPR tetapi tetap gagal di Nagari Matahari  dan lebih-lebih lagi Desa Camin Jaya. Untungnya pada Pemilu 1982 secara umum Kecamatan Pinggir Danau, Partai PPR menang.Â
Sehingga  di tingkat Kabupaten dan Kota Solok,  Partai PPR Menang. Bahkan ada 2 orang putra Kenagarian Matahari yang terpilih menjadi anggota DPRD dari Partai PPR di tingkat Kecamatan Pinggir Danau meski menjadi calon dari desa dan nagari lain.Â
Masih Terbelah
Akan tetapi  efeknya sampai sekarang secara laten masih terasa, meski sudah masuk orde reformasi (1998-2015). Antara kelompok dan pendukung pengurus lama dan pengurus baru tetap tidak sinkron dan belum berbaikan.Â
Hal itu kelihatan dampaknya pada lembaga pendidikan Muhammadiyah  di  Nagari Matahari. Madrasah  MTsM di pegang pengurus lama dan kadernya, sementara Madrasah Aliyah Muhammadiyah (MAM)  dipegang oleh pengurus baru dan kadernya.
Efek lain, pada  shalat hari raya Idul Fitri dan Adha yang dulu semua orang Muhammadiyah shalat di Lapangan dan orang  Tarbiyah shalat di Masjid Raya.Â
Sejak perpecahan tadi, pengurus lama Muhammadiyah, kader-kader dan pengikutnya shalat hari raya bukan lagi di lapangan tetapi  bersama orang Tarbiyah di Masjid Raya sampai sekarang. Dan yang shalat di lapangan adalah pengurus baru dan pengikut-pengikutnya.Â
Ada yang aneh. Menurut pengamatan Umbuik Mudo (sumber esai ini) sebagian orang Muhammadiyah yang biasa shalat di lapangan memilih pindah ke lapangan di luar Masjid . Â Meski imamnya waktu shalat Id itu di dalam masjid dan ketika khutbah, khatibnya di lapangan halaman Masjid.Â
Mungkin, mereka yang dulunya biasa shalat Id di lapangan masih tetap nyaman dan merasa tetap di lapangan, meskipun  hanya di komplek Masjid Raya Nagari Matahari, bukan komplek Masjid Taqwa Muhammadiyah.Â