Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Mumbul-mumbul Kaya Tajin", Sudah Gawatkah?

5 Agustus 2020   08:18 Diperbarui: 5 Agustus 2020   08:33 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Mumbul-mumbul Kaya Tajin:" Sudah Gawatkah?

Tukiman Tarunasayoga

Siapa pun pasti tahu tajin, dan rasanya amatlah tajir hidup Anda kalau tidak mengenal tajin. Tajir itu orang kaya raya, dan saking kayanya tidak pernah berurusan ke/dengan dapur untuk menanak nasi seraya melihat tajinnya. 

Bagi siapa pun yang sedang menanak nasi, -lebih-lebih para minim pengalaman- ,  hukum pertama adalah harus mengontrol seberapa banyak tajinnya ketika suara di dalam periuk atau pun rice cooker itu sudah mulai "blekuthuk....blekuthuk ....mumbul-mumbul." Mengapa perlu dikontrol? Tajin terlalu banyak akan menghasilkan nasi lembek, dan karena itu harus dikurangi agar nanti dihasilkan nasi sesuai selera, pulen, pera; namun sebaliknya, bila tajinnya dirasa kurang perlulah segera ditambah air (sebaiknya panas) sedikit untuk menghindari nasi yang dihasilkan terasa nglethis yakni masih berasa beras.

Pengetahuan umum "ilmu menanak nasi" mengajarkan pengalaman praktis seperti ini: Kalau tajin sudah mulai mumbul-mumbul, meletup-letup, itu justru pertanda baik karena kebutuhan air untuk pematangan nasi memadai, sedang kalau tidak ada letupan-letupan kecil dan membawaserta suara blekutuk.....blekuthuk.... itu tanda bahaya karena tidak akan dihasilkan nasi bagus.

Berdasarkan pengalaman praktis kehidupan seperti itulah yang umumnya kemudian dirumuskan dan diteruskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita ke dalam peribahasa (Jawa: paribasan). Paribahasa selalu mengandung makna ajaran tetapi bisa juga ajakan, atau juga dapat berisi sindiran atau pun sandaran, kadang juga sebuah pepatah, namun juga menjadi petitih. 

Menanak nasi pun ternyata dapat menghasilkan peribahasa, inilah "Mumbul-mumbul kaya tajin," yakni perlukisan mengenai kondisi atau perangai orang atau kelompok "sing ora kendhak, ora ana lerene," --bacalah leren seperti Anda mengucapkan elek, atau maaf ketek- ,   yakni ada saja orang atau kelompok yang terus saja (dalam konotasi menyindir) berbuat aksi, gerakan, atau pun kegiatan sekedar untuk mencari perhatian, mengungkapkan kekecewaan, boleh jadi juga sedang cari panggung baru. Orang atau kelompok seperti itu digambarkan kaya tajin sing mumbul-mumbul, seperti air nasi yang meletup-letup bunyinya blekuthuk....blekuthuk.

Pertanyaannya ialah; Berbahayakah atau sudah gawatkah situasi kehidupan ini ketika ada orang atau kelompok "mumbul-mumbul kaya tajin?" Siapa pun pasti akan dapat dan harus dapat menjawab: Ora apa-apa!  Artinya, itu gejala alamiah semata-mata, dan nanti akan berhenti dengan sendirinya; apalagi kalau mereka yang  "mumbul-mumbul kaya tajin" itu serba bombastis nama atau pun kata-kata pernyataannya, ditambah lagi, misalnya, orang-orangnya wajah-wajah lama.

 Pada sisi yang lain, perlu ada apresiasi bila terdengar suara blekuthuk....blekuthuk karena itu "alarm alamiah" yang sangat wajar namun penting. Seperti dikatakan di atas, suara tajin sing mumbul-mumbul sudah memberikan gambaran tentang nasi yang akan dihasilkan nanti. Kalau tajin itu meletup-letupnya hanya sebentar, itu pertanda airnya kurang memadai; sedangkan kalau blekuthuk....blekuthuknya lama banget, itu pertanda kelebihan air. Kalau meletup-letupnya  hanya sebentar, nglethislah nasi itu; namun kalau meletup-letupnya lama banget jadilah bubur tidak berkualitas. Nah ...........kita, ehhh KAMI,  tunggu saja perkembangan selanjutnya.

Simpulannya, "mumbul-mumbul kaya tajin" tidak dapat dipakai untuk mengukur kegawatan situasi, pertama, bukan saja karena itu "alarm alamiah," melainkan juga karena memang basis budaya masyarakat kita cenderung tidak setuju atau tidak  mendukung wong sing ora kendhak, ora ana lerene seperti itu,  berhubung orang atau kelompok seperti itu justru ditengarai mung usil lan iseng wae.

Kedua, dalam konteks pandemi Covid 19 dan upaya keras-cerdas mengatasi dampaknya, mumbul-mumbul kaya tajin nan bersuara blekuthuk-blekuthuk seperti itu tidak membawaserta simpati masyarakat karena dirasakan  "kok kurang cerdas ya." Biasanya, masyarakat akan menanggapi gegap gempita kalau saja kegiatannya betul-betul menyuburkan empati, belarasa penuh sentuhan kasih sayang utamanya kepada mereka yang termasuk KLMTD, yaitu kelompok lemah, miskin, tersingkir, dan difabel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun