Kabar bahwa Warga Negara Asing (WNA) kini semakin terbuka jalannya untuk menduduki kursi direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memunculkan dua reaksi ekstrem: optimisme terhadap profesionalisme global, dan kekhawatiran terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
Pemerintah berargumen bahwa ekspatriat membawa keahlian, jaringan, dan standar kelas dunia untuk menyelamatkan BUMN yang tengah sakit; ibarat klub sepak bola yang merekrut pemain bintang atau menaturalisasi talenta asing demi kebangkitan instan.
Namun, di balik paket kompensasi fantastis yang harus dibayarkan (harga yang setara untuk bersaing di pasar talent global) terselip pertanyaan mendasar: apakah BUMN benar-benar hanya membutuhkan "pemain" yang hebat, atau sebenarnya membutuhkan "lapangan" yang sehat?
Analogi yang Menyakitkan: Bintang Mahal di Tim yang Rapuh
Dunia olahraga memberi kita pelajaran yang relevan.
Naturalisasi pemain sepak bola dilakukan dengan harapan instan: menghadirkan keterampilan dan mentalitas juara yang diharapkan menular kepada tim nasional.Â
Kita rela membayar mahal demi nama besar dan potensi kemenangan cepat. Namun, faktanya, kehebatan individu tidak pernah menjamin keberhasilan kolektif.
Kelemahan tim sering kali bukan karena kualitas pemain, tetapi karena sistem yang rapuh: federasi yang tidak konsisten, pelatih yang sering berganti, dan infrastruktur liga yang buruk. Tanpa ekosistem yang mendukung, bakat sehebat apa pun akan mandek.
Bayangkan Lionel Messi bermain di tim dengan federasi yang dipenuhi intervensi politik, strategi yang berubah setiap triwulan, dan birokrasi yang mengekang inovasi. Ia bukan hanya gagal bersinar, tetapi juga frustrasi.
Begitulah nasib yang menanti direksi asing di BUMN, pemain kelas dunia yang dipaksa bermain di lapangan penuh ranjau sistemik.
WNA: Plester Mahal untuk Luka Kronis