Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pegiat Literasi Politik Domestik | Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

10 Ciri Guru yang Layak Disebut sebagai Beban Negara

20 Agustus 2025   16:44 Diperbarui: 20 Agustus 2025   16:44 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, percakapan tentang nasib guru kembali memanas. Semua bermula dari isu yang menyebut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan bahwa guru adalah beban negara.

Meski akhirnya dinyatakan hanyalah hoaks, yaitu hasil potongan video pidato yang dimanipulasi, namun isu tersebut menyisakan pertanyaan mendasar: mungkinkah benar ada guru yang justru menjadi beban?

Secara hakikat, guru bukanlah beban, melainkan investasi paling berharga yang dimiliki sebuah bangsa. Dari tangan guru, anggaran negara berubah menjadi sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Guru adalah jantung pendidikan.

Namun, harus jujur diakui bahwa tidak semua guru menjalankan peran mulianya dengan sungguh-sungguh. Ada sebagian kecil yang justru membuat pendidikan stagnan, dan bahkan melukai kepercayaan terhadap profesinya sendiri.

Berikut adalah 10 ciri guru, yang jika dibiarkan tanpa perbaikan, bukan hanya merugikan siswa, tetapi juga berpotensi menjadi beban bagi negara dan masa depan bangsa.

1. Kurang Kompeten dan Tidak Inovatif
Guru yang berhenti belajar, sesungguhnya berhenti menjadi guru. Pendidikan bukan ruang statis; ilmu terus berkembang, keterampilan terus berubah, dan dunia menuntut kemampuan baru.

Guru yang puas dengan pengetahuan lama, menolak membaca, apalagi enggan memanfaatkan teknologi, akan membuat siswanya terjebak di masa lalu.

Contoh: Guru yang hanya mengandalkan ceramah dan hafalan, padahal dunia kerja kini menuntut kreativitas, kolaborasi, dan pemecahan masalah.

2. Tidak Berdedikasi dan Kurang Bertanggung Jawab
Profesi guru bukan sekadar pekerjaan yang menuntut gaji, tetapi sebuah panggilan jiwa.

Guru yang sekadar hadir untuk menggugurkan kewajiban administratif, tanpa hati yang menyala bagi perkembangan murid, sejatinya sudah gagal menjalankan esensi pendidikannya.

Contoh: Guru yang sering terlambat, enggan mengoreksi tugas, dan acuh ketika murid kesulitan belajar.

3. Sulit Beradaptasi dengan Perubahan
Perubahan adalah hukum alam, dan pendidikan harus responsif terhadapnya. Guru yang menolak beradaptasi dengan metode baru atau teknologi digital hanya akan menutup pintu kesempatan bagi muridnya.

Contoh: Menolak pembelajaran daring atau aplikasi manajemen kelas, padahal justru bisa memudahkan interaksi guru-siswa.

4. Lemah dalam Komunikasi
Komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menghubungkan hati dengan hati.

Guru yang kaku, sulit dipahami, atau enggan memberi umpan balik yang membangun, hanya akan menciptakan jarak dengan murid dan orang tua.

Contoh: Menggunakan bahasa terlalu teknis hingga siswa merasa terintimidasi dan tidak berani bertanya.

5. Hanya Mengejar Nilai, Lupa Membentuk Karakter
Tugas pendidikan tidak berhenti pada angka-angka rapor. Guru yang hanya sibuk mengejar target ujian tanpa menanamkan nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab, sejatinya sedang melahirkan generasi pintar tapi rapuh moral.

Contoh: Guru yang bangga saat siswanya mendapat nilai tinggi, tapi menutup mata ketika mereka mencontek.

6. Tidak Mampu Menghargai Keberagaman Murid
Setiap anak adalah dunia yang unik. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada yang butuh pendekatan berbeda.

Guru yang tidak mau memahami keragaman gaya belajar, latar belakang, atau kebutuhan khusus murid, justru menumbuhkan ketidakadilan dalam kelas.

Contoh: Hanya fokus pada murid pintar, sementara yang kesulitan dibiarkan tertinggal.

7. Menjadi Sumber Konflik di Lingkungan Sekolah
Sekolah mestinya jadi ruang belajar yang teduh. Tapi jika ada guru yang justru menambah konflik, suka bergosip, menjatuhkan rekan, atau membawa politik praktis ke ruang kelas, suasana belajar akan rusak. Murid pun ikut menyerap ketegangan itu.

8. Tidak Profesional
Disiplin, etika, dan penampilan adalah wujud keteladanan. Guru yang tidak profesional; entah datang seenaknya, berbicara kasar, atau berperilaku tidak pantas, sebenarnya sedang mengajarkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya: bahwa ucapan dan tindakan boleh berbeda.

Contoh: Guru yang mengajarkan pentingnya disiplin, tapi dirinya sering masuk kelas terlambat.

9. Hanya Mementingkan Kesejahteraan Pribadi
Tidak salah jika guru memperjuangkan hak finansialnya. Namun menjadi masalah bila orientasi itu mengalahkan panggilan mulia profesinya.

Ketika kesejahteraan dijadikan satu-satunya ukuran, murid hanya akan dipandang sebagai sumber keuntungan.

Contoh: Guru yang mewajibkan murid membeli bukunya atau menjanjikan nilai tinggi lewat les privat berbayar.

10. Terlibat dalam Praktik Tidak Etis
Inilah racun paling berbahaya dalam dunia pendidikan. Guru yang terlibat pungli, manipulasi nilai, atau praktik kecurangan lainnya bukan hanya merusak nama baik profesinya, tapi juga mengajarkan kepada murid bahwa ketidakjujuran bisa dijadikan jalan pintas.

Guru: Aset atau Beban?
Tidak ada bangsa besar tanpa guru yang bermutu. Guru yang berintegritas akan selalu menjadi aset tak ternilai.

Akan tetapi, guru yang terjebak pada ciri-ciri di atas justru merugikan bangsa, karena ia menghamburkan anggaran tanpa menghasilkan kualitas manusia yang lebih baik.

Maka, tanggung jawab perbaikan bukan hanya pada guru itu sendiri, tetapi juga pada sistem. Pemerintah yang harus membekali, sekolah yang harus membina, masyarakat yang harus menghargai, dan murid yang harus menghormati.

Jika semua pihak bergerak, istilah "guru sebagai beban" tidak lagi relevan. Sebab sejatinya, seorang guru sejati adalah penopang bangsa.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun